Sunday, December 23, 2007

The Flavor Quality Analysis for Gayo Coffee


AS Bantu Petani Kopi

Medan, Kompas - Pengusaha Amerika Serikat yang tergabung dalam Roaster’s Guild of America membantu pengembangan petani kopi di Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darusalam. Bantuan dalam bentuk edukasi itu dilakukan untuk meningkatkan kualitas kopi Sumut dan Aceh yang dikenal memiliki potensi tinggi.

"Secara kualitas sangat berpotensi. Tapi, sayang, kualitasnya tidak bisa stabil. Jika tidak berkualitas, tidak bisa bersaing dengan kopi dari negara lain," tutur Geoff Watts yang juga Juru Bicara Roaster’s Guild of America, Selasa (6/11) di Medan.

Geoff datang bersama tujuh pengusaha kopi di AS. Selama seminggu, mereka mengunjungi NAD dan melihat langsung petani Aceh Tengah dan Bener Meriah mengolah kopi gayo. Kunjungan ini dilakukan sebagai kelanjutan pertemuan dengan Gubernur Aceh Irwandy Yusuf di AS.

"Saya terkejut, petani di Aceh masih memakai cara tradisional. Salah satunya dengan mengeringkan kopi di atas tanah. Proses seperti itu sangat memengaruhi kualitasnya," tuturnya.

Para pengusaha AS ingin berbagi pengetahuan cara memproses kopi agar nilai jualnya menjadi tinggi. Geoff mengatakan, proses pengolahan kopi dengan teknik yang baik akan menghasilkan kopi berkualitas sehingga nilai jual kopi bisa jauh lebih tinggi. "Mengubah kebiasaan memang susah. Para petani belum banyak yakin, dengan kopi yang berkualitas akan mendapatkan harga lebih tinggi," katanya.

Kunjungan berikutnya dimulai Selasa di Sumut. Para pengusaha mengunjungi Kabupaten Humbang Hasundutan yang sudah mengembangkan kopi lintong sebagai produk unggulan. Roaster’s Guild bersama tenaga ahli Indonesia terlibat dalam pendirian "sekolah kopi" di Desa Sitio-Tio, Sigumpar, Humbang Hasundutan.

Pendirian sekolah merupakan salah satu dari bentuk keterlibatan pengusaha AS membantu petani kopi Indonesia. Sekolah yang sudah disiapkan 1,5 tahun itu akan mulai beroperasi bulan depan. Pengajaran sekolah yang mirip dengan model pemagangan itu dilakukan sarjana ahli kopi dari Kosta Rika.

"Dia sudah ahli di bidangnya. Pengajar dari Kosta Rika akan mendidik anak lulusan sekolah pertanian selama tiga bulan. Setelah selesai tiga bulan, ada program berikutnya dalam waktu yang sama. Harapan kami, mereka yang lulus dari sekolah itu bisa menularkan ilmu pengolahan kopi mulai dari penanaman sampai panen kepada petani kopi lain," kata tenaga ahli PT Volkopi Indonesia Eko Purnomowidi.

Alan Nietlisbach dari Volcafe Speciality Coffee AS mengatakan, pasaran kopi Indonesia di AS kalah dominan dari kopi Kolombia. Dia berharap, kopi Indonesia asal Aceh dan Sumut bisa menembus pasar AS. Persoalannya, pendekatan para pengusaha kopi sekarang adalah pendekatan kualitas. (NDY)

Asosiasi Kopi Permudah Hubungan Aceh - Amerika

SERAMBI INDONESIA (HARIAN) ; 22/9 ; Wakil Presiden Kopi Organik dari perusahaan Royal Coffee, Amerika Serikat (AS), John Cossette, menyarankan agar Aceh segera membentuk Aceh Coffee Association (Asosiasi Perkopian Aceh).

Asosiasi itu nantinya akan menjadi penghubung antara pembeli kopi di AS dengan produsen kopi di Aceh, sehingga apa yang diproduksi di Aceh sesuai dengan spesifikasi kopi yang diinginkan pasar AS.

Gagasan itu dikemukakan John Cossette dalam pertemuan business roundtable dengan para importir dan pengolah kopi di World Affair Council, San Fransisco, Rabu (19/9) waktu setempat atau Kamis malam waktu Indonesia barat.
Diskusi yang melibatkan para pengusaha Aceh itu dibuka Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, berlangsung dalam suasana interaktif, konstruktif, dan dihadiri lebih dari 20 pengusaha pembeli kopi dari negara bagian Kalifornia, Amerika Serikat (AS).

Menurut John Cossette, asosiasi perkopian di sebuah negara, seperti AS, bisa menangani langsung kebijakan produksi kopi yang berorientasi pasar, bukan cuma semata-mata menggenjot produktivitas per hektare dalam sebidang kebun kopi.

Memperkuat gagasannya tentang pentingnya asosiasi kopi Aceh itu segera dibentuk, John Cossette mengatakan, para importir dan pembeli kopi di AS bersedia menjadi tim asistensi demi mendongkrak kapasitas asosiasi tersebut melalui program training atau program sejenisnya.

Ia juga mengingatkan bahwa pendekatan generik terhadap bisnis kopi yang hanya mengandalkan kuantitas, apabila hal itu dilakukan oleh seluruh negara produsen kopi dunia, maka akan menyebabkan over supply. Di sisi lain, hal itu tetap menyisakan gap (jurang) yang besar antara para penikmat kopi stylist yang menginginkan kopi premium, dengan kekosongan produk kopi premium yang tersedia di pasar. “Ini adalah tantangan, tetapi sekaligus peluang. Beberapa negara Afrika seperti Kenya dan Rwanda sudah bergerak ke arah ini,” kata Cossette yang mengaku perusahaannya telah mengimpor kopi dari berbagai belahan dunia sejak tahun 1978.

Apa yang digagas John Cossette itu ditanggapi positif oleh Ir Taufik MS, salah seorang rombongan delegasi Aceh yang menyertai lawatan Gubernur Aceh ke AS. Taufik yang Direktur Utama PD Geunap Mupakat, BUMD penghasil dan pengolah kopi di Aceh Tengah, menyambut baik ide pembentukan asosiasi tersebut. “Dengan adanya asosiasi itu maka kita dapat mendengar langsung apa keinginan pasar, sehingga apa yang kita hasilkan adalah apa yang diinginkan pasar,” kata Taufik sebagaimana dikutip dan dilaporkan Syafruddin Chan, Kepala Investor Outrecht Office Banda Aceh yang ikut dalam pertemuan itu kepada Serambi, Jumat pagi.

Menurutnya, dalam pertemuan itu dibicarakan juga keinginan beberapa pihak untuk memperbaiki infrastruktur yang terkait dengan industri perkopian di Aceh, di samping keinginan untuk mengangkat taraf hidup petani kopi dengan cara membelinya lebih tinggi di tingkat petani.

Beda dengan dulu

Dalam diskusi itu, Geoff Watts, Wakil Presiden Intellegentia Coffee, salah satu pembeli green coffee di Amerika, menambahkan bahwa pasar kopi dunia sekarang beda dengan dulu. Dulu, kopi apa pun yang dijual akan dibeli konsumen, karena konsumen kopi memang tak punya pilihan lain. Akan tetapi, penikmat kopi sekarang makin pintar dan selektif. Mereka akan mencari kopi yang benar-benar bercitarasa unik dan spesial.

Untuk itu, mereka berani bayar dengan harga berapa pun. Oleh sebab itu, Aceh harus punya premium product yang bisa dibeli dengan harga premium (premium price). “Aceh harus tahu berapa harga tertinggi (ceiling price) yang bisa diterima pasar sekarang dan go for it,” kata Geoff Watts.

Tanpa pembedaan citarasa produk, lanjut Watts, maka kopi Aceh tidak akan pernah punya awareness di pasar kopi dunia. “Apalagi sekarang merek yang dikenal di Amerika bukan kopi Aceh, melainkan kopi Sumatera.”(dik)