Thursday, February 14, 2008

Pengembangan Indikasi Geografis (Bagian 3 / Akhir)

Kopi Arabika Sumatera (Mandheling, Lintong Nihua, Sumbul/Sidikalang & Gayo)

Kopi Arabika telah diperkenalkan ke Indonesia dan ditanam oleh Belanda sejak tahun 1699. Dalam waktu yang tidak terlalu lama sudah menyebar di seluruh Provinsi di Indonesia, termasuk Sumatra Utara dan Aceh.

Khusus untuk provinsi Sumatera Utara, Belanda lebih dulu melakukan penanaman kopi arabika yang disebut "Mandheling" yang dimulai dari kabupaten Tapanuli Selatan, segera setelah perkebunan Mandheling, Belanda memperluas perkebunan kopi di kabupaten sekitarnya yang berdekatan, seperti Lintong Nihuta di kabupate Tapanuli Utara Dan Sumbul/Sidikalang di kabupaten Dairi.

Semua kopi arabika ditanam pada areal 1200 meter di atas permukaan laut berdekatan dengan danau " TOBA". Selanjutnya, kopi arabika jenis yang sama juga ditanam pada Tanah Tinggi Gayo (kabupaten Aceh Tengah) dekat danau "LAUT TAWAR" yang lebih dikenal dengan sebutan "KOPI GAYO". Keuntungan perkebunan dataran tinggi, kopi memiliki karaktreristik khusus seperti bijinya keras dan memiliki aroma yang harum.

Nama kopi arabika “MANDHELING" merupakan ide dari eksportir Medan yang diambil dari perkebunan pertama Mandheling-di kabupaten Tapanuli Selatan. Di tahun 1968, seorang eksekutif dari Japannese Trading House mengunjungi eksportir dan terkesan setelah mencoba secangkir kopi arabika. Ungkapannya adalah ia telah mencicipi kopi arabika macam ini ketika ia adalah masih menjadi seorang prajurit di Sibolga ( Tapanuli Tengah) selama Perang Dunia II. Orang tersebut kemudian mulai melakukan impor kopi arabiaa ke Jepang dengan label KOPI ARABICA MANDHELING dan mempromosikannya bahwa kopi arabika ini adalah salah satu kopi arabika terbaik di dunia. Sejak itu, konsumen Jepang lebih tertarik dengan KOPI ARABICA MANDHELING. Nama kopi Mandheling sudah menjadi identik dengan kopi mutu yang tinggi dimana mereka yang menyenangi tidak pernah melupakan aroma harumnya.

Sekarang ini kopi Mandheling menjadi komposisi utama ramuan kopi, mereka yang akan menghasilkan mutu kopi tinggi akan menggunakan kopi arabika Mandheling sebagai campurannya. Sekarang ini, produksi kopi arabika Mandheling Sumatera Utara sekitar 15,000 - 16,500 ton dan Aceh memproduksi sekitar 10,000- 14,000 ton. Pengembangan kopi arabika di Sumatera Utara terutama di kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, Simalungun, Deli Serdang, dan Dairi.

Perkembangan saat ini luas pertanaman dan produksi kopi arabika di Sumatera Utara semakin meningkat meningkat dan diharapkan dapat terus terjadi untuk masa yang akan datang sehingga Sumatera Utara akan memiliki kopi mutu tinggi yang menjadi kebanggaan masyarakat.

Secara keseluruhan luas perkebunan kopi arabika sekitar 31.551,33 hektar atau sekitar 53,73% dari area luas lahan kopi di Sumatera Utara. Pengembangan kopi arabika relatif lambat, hal ini disebabkan kopi arabika tumbuh baik hanya di sekitar ketinggian 800-1.500 meter d.p.a, sehingga berkompetisi dengan tanaman lainnya seperti sayuran atau hortikultura yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Walaupun demikian Asosiasi Eksportir Kopi Sumatera Utara telah mencoba membantu petani kopi di dalam melakukan rehabilitasi kopi arabika, yaitu untuk kopi arabika " Lintong" dan kopi arabika " Mandheling".

Dampak dari pengembangan kopi arabika ini adalah pemanfaatan tenaga kerja, khususnya dalam pasca panen. Untuk menghasilkan produk yang baik maka diperlukan tenaga kerja wanita yang tekun memilih kopi-kopi tersebut sesuai dengan gradingnya. Untuk grading kopi arabika dengan kadar kering 13 % di Sumatera (Sumatera Utara dan Dataran Tinggi Gayo-NAD)adalah sebagai berikut :



Sumber: Penelitian Departemen Perdagangan, Direktorat Kerjasama Industri dan Perdagangan Internasional 2004

Pengembangan Indikasi Geografis (Bagian 2)

INDIKASI GEOGRAFIS DI INDONESIA DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA

Indikasi Geografis menurut Undang Undang No 15 tahun 2001 tentang Merek

Dalam UU Merek perlindungan indikasi geografis tercantum pada pasal 56 sampai dengan 60 UU yang bersangkutan. Dalam ketentuan pasal 56, indikasi-geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Indikasi-geografis mendapat perlindungan setelah terdaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh :

1. lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi barang yang bersangkutan, yang terdiri atas:
a) pihak yang mengusahakan barang yang merupakan hasil alam atau kekayaan alam;
b) produsen barang hasil pertanian;
c) pembuat barang-barang kerajinan tangan atau hasil industri; atau
d) pedagang yang menjual barang tersebut;

2) lembaga yang diberi kewenangan untuk itu; atau
3) kelompok konsumen barang tersebut.

Ketentuan penting lain dalam Undang-Undang itu ialah :bahwa permohonan pendaftaran indikasi-geografis ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila tanda tersebut:
1) bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, ketertiban umum, atau dapat memperdayakan atau menyesatkan masyarakat mengenai sifat, ciri, kualitas, asal sumber,proses pembuatan, dan/atau kegunaannya;

2) tidak memenuhi syarat untuk didaftar sebagai indikasi-geografis.

Indikasi-geografis terdaftar mendapat perlindungan hukum yang berlangsung selama ciri dan/atau kualitas yang menjadi dasar bagi diberikannya perlindungan atas indikasi- geografis tersebut masih ada.

Pada saat ini Direktur Jendral Hak Kekayaan Intelektual sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah tentang Indikasi Geografis.

Komoditas Unggulan Indonesia yang dapat dilindungi dengan indikasi geografis.

Dari studi yang dilaksanakan komoditi Indonesia berdasarkan reputasinya dapat digolongkan menjadi dua, yang pertama adalah komoditas ekspor yang telah mendapatkan reputasi internasional dan yang kedua adalah komoditas dalam negeri yang telah mendapatkan reputasi nasional.
Komoditas ekspor dengan reputasi internasional antara lain adalah kopi, tembakau dan lada.

Untuk komoditas kopi antara lain dikenal reputasi kopi Mandailing atau Sumatra Mandheling dengan deskripsi sebagai berikut :

Originating from the second largest of the Indonesian Islands,here's another of the world's most highly regarded gourmet quality coffees – the Mandheling.
This gourmet coffee highlights a heavy body that is marked with excellent balance and acidity. Chocolately notes are prevalent in the finish.
Master roasted to a delightful medium-dark sheen creating a fullness of flavor perfect for an early morning jump-start, or as an extra special complement to a wonderful dessert.

The full-bodied richness and excellent acidity keep the Mandheling at the forefront as a popular choice of coffee connoisseurs around the world

Disamping itu tidak kalah terkenalnya pula kopi Toraja yang merupakan kegemaran orang Jepang.

Kopi Toraja secara keseluruhan atau secara khusus dari daerah Kalosi merupakan kopi bermutu tinggi yang menduduki pasaran utama di Jepang. Sedemikian terkenalnya nama Toraja sehingga nama itu juga dijadikan nama produk makanan yang tidak berhubungan dengan daerah Toraja misalnya untuk Takoyaki (snack) yang dibuat dari hewan laut (seafood). Kondisi ini tentunya mengkhawatirkan karena dapat membuat nama Toraja menjadi nama generik dan tidak bisa digunakan lagi untuk indikasi geografis.

Kopi lain yang cukup dikenal adalah Java Coffee, kopi ini sangat disukai di Eropa terutama di kalangan anak muda yang suka bergadang, sehingga salah seorang pencipta perangkat lunak memakai nama Java sebagai nama program perangkat lunak komputer.

Lada Muntok dari Bangka juga sangat digemari oleh masyarakat di Eropa sebagai lada meja, table pepper karena rasanya yang lunak dan bau yang tidak menyengat. Namun demikian karena pasokan yang kurang memadai maka banyak yang memakai merek Lada Muntok dengan isi yang bukan dari Muntok, bahkan bukan dari Indonesia.

Untuk komoditas tembakau, sampai saat ini salah satu pembungkus cerutu terbaik berasal dari Deli. Sedang tembakau Besuki Na Oogst maupun tembakau Jember juga cukup merajai pasaran dunia.

Di sini terlihat bahwa beberapa komoditas Indonesia sudah mendapatkan reputasi yang harus dijaga. Pengembangan indikasi geografis akan meningkatkan serta menjaga nilai tambah komoditas-komoditas tersebut.

PROFIL KOMODITAS CONTOH

Penjelasan profil komoditas di bawah ini merupakan bagian dari dokumentasi yang dapat membantu lembaga-lembaga di wilayah Indonesia yang akan mewakili perlindungan komoditas. Hal tersebut penting sebagai kaitannya dengan indikasi geografis dan traditional knowledge yang berkaitan dengan warisan budaya. Indikasi geografis memang suatu yang baru dimana Indonesia memasukkan dalam UU Merk.

Salah satu lingkup produk Indonesia yang telah lama berkembang dan memiliki kualifikasi indikasi geografis adalah dalam sub sektor perkebunan. Tiga komoditas yang cukup penting adalah kopi, tembakau dan lada. Dari nilai ekspor nasional tahun 2002 sebesar 57 158.8 juta US$, ketiga komoditas tersebut masing-masing mencapai 218.8 juta US$ (0.38 %) untuk kopi, 66.45 juta US$ (0.12%) untuk tembakau dan 88.14 juta US$ (0.15 %) untuk lada.

Komoditas dan Perdagangan Kopi

Indonesia merupakan salah satu negara net exporter kopi. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah yang menonjol di bidang perdagangan lebih berkaitan dengan ekspor kopi. Namun kopi juga diimpor oleh pabrik pengolahan kopi di Indonesia sebagai bahan pencampur (blending) agar diperoleh aroma dan rasa yang lebih baik. Jenis kopi yang masih diimpor karena kurang mencukupi adalah kopi Arabika. Produksi utama adalah Robusta yang aroma dan rasanya tidak seperti kopi Arabika. Kebijakan perdagangan yang pernah ditempuh Indonesia adalah sebagai berikut.

Kebijakan Kuota Ekspor

Kesepakatan perdagangan internasional yang harus dipatuhi oleh Indonesia adalah kuota ekspor kopi, yaitu volume ekspor kopi yang dijatahkan kepada suatu negara dengan tujuan untuk menjaga agar harga kopi di pasar dunia dan domestik tidak jatuh. Pembatasan jumlah ekspor diadakan setelah terbentuknya International Coffee Organization (ICO) pada tahun 1960-an yang beranggotakan 44 negara yang terdiri dari 13 negara produsen dan 31 negara konsumen. Pembentukan ICO adalah sebagai respon terhadap menurunnya harga kopi di pasar dunia karena kelebihan penawaran.

Data USDA (1999) menunjukkan bahwa selama 1965-1968, rata-rata harga kopi Arabika di pasar New York turun dari 44,8 sen menjadi 37,30 sen dolar AS. Tetapi kemudian sejak tahun 1969 sampai 1977 harga terus meningkat hingga menjadi 307,66 sen dolar AS. Barangkali ini merupakan keberhasilan ICO dalam mengangkat harga kopi di pasar dunia. Setelah itu harga cenderung menurun lagi hingga mencapai 106,37 sen dolar AS pada tahun 1987. Munculnya frost di Brazil pada tahun 1988 sedikit mengangkat harga kopi menjadi 121,84 sen.

Namun kuota ekspor ternyata dihentikan pada tanggal 4 Juli 1989, walaupun pada saat itu harga kopi turun menjadi 98,76 sen. Ekspor dibebaskan ke negara mana saja tanpa melihat apakah anggota ICO atau bukan. Hapusnya kuota dan bebasnya tujuan pengiriman ekspor ternyata menyebabkan harga dunia terus menurun hingga titik yang rendah, yaitu 56,49 sen dolar AS pada tahun 1992.

Merosotnya harga kopi di pasar dunia tersebut menyebabkan negara-negara produsen kopi dunia pada tahun 1993 membentuk sebuah asosiasi baru bernama Association of Coffee Producing Countries (ACPC). Asosiasi ini beranggotakan 13 negara produsen kopi, dimana Indonesia merupakan astu-satunya negara di Asia yang menjadai anggota ACPC membuat suatu export programs, yaitu semacam kuota ekspor tetapi tidak diberi sangsi terhadap negara-negara yang melanggarnya. Program tersebut ternyata mampu mengangkat harga kopi (Arabica) di New York menjadi 143,24 sen dolar AS pada tahun 1994 dan kemudian menjadi 145,95 sen pad atahun 1995. Sesudah turun menjadi 119,77 sen pad atahun 1996, harga naik lagi menjadi 166,80 sen pad atahun 1997. Sesudah itu harga turun menjadi 121,81 sen pad atahun 1998 dan kemudian menjadi 92,50 sen pada tahun 1999.

Sebagai anggota ICO, Indonesia harus mematuhi kuota ekspor yang pernah ditetapkan ICO sampai dengan 1989 dan program ekspor ACPC sejak tahun 1993. Perkembangan kuota ekspor kopi Indonesia selama 1985/1986 sampai dengan 1989/1990. Selama kurun waktu tersebut, kuota terus menurun selama 1985/1986 -1987/1988 dna kemudian terus meningkat hingga 1989/1990. Pada akhir masa berlakunya kuota (1989/1990), kuota Indonesia mencapai 331,483 ton. Jumlah kuota ekspor bervariasi sekitar 15,9 – 81,3 persen dari total ekspor kopi Indonesia, sedangkan jumlah ekspor non-kuota berkisar 18,7 – 50,2 persen

Pada tahun 1996, negara-negara anggota ACPC diminta melakukan penahanan sebagian ekspor kopi (export retention) sebesar persentase tertentu terhadap total jatah ekspor kopi. Besarnya retwensi adalah 10 persen jika harga baik dan 20 persen jika harga kurang baik. Namun Indonesia menolak retensi itu karena akan meningkatkan beban biaya penyimpanan dan biaya-biaya terkait lainnya yang sangat besar.


Kebijaksanaan Tarif Impor


Tarif impor kopi yang dikenakan oleh pemerintah Indonesia terhadap impor kopi selama 1969-1998 mengalami perubahan. Selama 1969-1973, tarif impor adalah 50 persen, kemudian meningkat menjadi 70 persen selama 1974-1980. Sesudah itu, tarif diturunkan kagi menjadi 30 persen yang berlangsung cukup lama (14 tahun), yaitu selama 1981-1994. Selama dua tahun berikutnya (1995-1996), tarif diturunkan lagi menjadi 25 persen, laku turun lagi menjadi 20 persen pada tahun 1997 dan akhirnya menjadi 5 persen pada tahun 1998 sampai sekarang.

Volume dan Nilai Ekspor

Volume ekspor kopi Indonesia selama 1996-2001 berfluktuasi dengan kecenderungan menurun rata-rata 6,21% per tahun. Penurunan volume ekspor terbesar terjadi pad atahun 2001. Diperkirakan, ini disebabkan oleh dampak negatif dari peristiwa runtuhnya gedung WTC di Amerika Serikat yang merupakan pusat perdagangan dunia. Hal itu menyebabkan melesunya ekonomi dunia yang menyebabkan turunnya permintaan dunia terhadap komoditas kopi. Nilai ekspornya malahan menurun lebih cepat dibanding volume ekspornya, yaitu rata-rata 18,75% per tahun. Ini menunjukkan terjadinya harga kopi di pasar dunia.

Komposisi Ekspor Menurut Jenis Produk

Ekspor kopi Indonesia terdiri dari tiga produk utama, yaitu: (1) coffee not roasted not decaffeinated, robusta oib; (2) coffee not roasted not decaffeinated, arabica, wib; dan (3) other coffee not roasted not defaeinated. Tampak bahwa ekspor kopi Indonesia sangat didominasi oleh jenis robusta dan dalam bentuk kopi biji kering yang belum di oven (roasted) dengan pangsa rata-rata 90% selama 1996-2001. Dominasi produk ekspor demikian menyebabkan harga ekspor tetap rendah.

Salah satu permasalahan yang dihadapi adalah rendahnya mutu biji kopi hasil petani. Kebutuhan petani yang mendesak akan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari menyebabkan ada biji kopi yang dipanen petani sebelum masak (petik hijau). Peirlaku petani seperti ini juga disebabkan oleh perilaku pedagang atau eksportir yang tidak memberikan insentif kepada petani atas mutu biji kopi yang baik/tua (petik merah). Pedagang dan eksportir hanya memberikan harga rata-rata, tanpa membedakan mutu kopi, sehingga petani enggan melakukan grading.

Permasalahan lainnya adalah kopi yang diekspor Indonesia adalah jenis robusta yang hanya dijadikan bahan campuran (blending) oleh negara pengimpor. Sebagian besar kopi yang diperdagangkan di pasar dunia adalah kopi arabika, seperti yang dihasilkan oleh negara-negara Amerika Latin, seperti Brazil, Colombia, dan lain-lain. Dalam hal ini, kopi Indonesia kalah bersaing dengan kopi arabika asal negara-negara lain.

Komposisi Ekspor Menurut Negara Tujuan

Ada lima negara tujuan utama ekspor kopi Indonesia, yaitu AS, Jepang, Jerman Barat, Polandia dan Korea Selatan dengan pangsa masing-masing 20,71%, 14,79%, 14,30%, 7,81% dan 4,90% pada tahun 2001. Selebihnya sebanyak 37,5% tersebar di anyak negara Eropa, Timur Tengah dan Asia. AS dan Jepang secara tradisional merupakan pasar utama ekspor kopi Indonesia. Di masa datang, Indonesia perlu mengembangkan ekspor ke lebih banyak negara tujuan lainnya sebagai pasar baru.

Pesaing Indonesia

Dalam mengekspor kopi ke pasar dunia, Indonesia berhadapan dengan negara-negara eksportir lainnya.Negara-negara eksportir utama kopi adalah sama dengan negara-negara produsen utama, yaitu Brazil, Colombia, Vietnam dan Indonesia, dengan rata-rata pangsa ekspor masing-masing 22,14%, 12,5%, 8,6% dan 6,8%. Untuk Indonesia, pangsa ekspor hamapir sama dengan pangsa produksi. Untuk Colombia dan Vietnam, pangsa ekspornya lebih besar dibanding pangsa produksinya, sedangkan untuk Brazil, pangsa ekspornya lebih kecil dibanding pangsa produksinya.

(Bersambung Ke Bagian 3)

Wednesday, February 13, 2008

Pengembangan Indikasi Geografis (Bagian 1)

(Laporan Penelitian ini di kutip sebagai Pembelajaran atas Kasus Klaim Merek Dagang "Kopi Gayo" Oleh Belanda, agar tidak terulang lagi pada Komoditi Khas Indonesia lainnya)

Nilai Tambah Komoditas dengan Pengembangan Indikasi Geografis

Dalam arena perdagangan internasional, di samping harga, sebagian besar persaingan terletak pada ciri khas, keunggulan dan konsistensi mutu produk. Produk yang berciri khas dan bermutu tinggi secara konsisten akan banyak dicari dan mendapatkan tempat khusus di pasar internasional. Ciri khas dari suatu produk dapat terjadi karena faktor geografis, keadaan tanah dan iklim yang khas dari daerah penghasil dan/atau faktor budaya masyarakat setempat. Ciri khas tersebut dinamakan sebagai indikasi geografis. Menurut Undang Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek, indikasi-geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Indonesia merupakan negara megadiversity, negara dengan keragaman budaya dan sumberdaya baik sumberdaya alami maupun sumberdaya manusia dari segi budaya. Banyak produk unggulan daerah yang telah dihasilkan Indonesia dan mendapatkan tempat di pasar internasional, sebagai contoh : kopi Mandailing, lada Muntok, batik Jawa, songket Palembang, sarung Samarinda dan masih banyak lagi yang lain. Bila ciri khas dipertahankan dan dijaga konsistensi mutu tingginya maka produk tersebut akan tetap mendapatkan pasaran yang baik, sebaliknya bila ciri khas dan mutu produk tersebut tidak konsisten maka nilainya akan merosot. Suatu produk yang bermutu khas tentu banyak ditiru orang sehingga perlu diupayakan perlindungan hukum yang memadai bagi produk-produk tersebut. Dalam beberapa kasus telah terbukti bahwa nama produk Indonesia seperti kopi Mandailing atau Mandheling Coffee dan Kopi Gayo atau Gayo Coffee yang telah diklaim oleh Belanda seperti saat ini, bahkan digunakan untuk produk lain atau diisi dengan kopi yang berasal dari daerah lain bahkan negara lain; demikian juga di pasaran dunia telah dikenal nama batik Malaysia bahkan batik Thailand, suatu hal yang tentunya tidak kita kehendaki mengingat batik adalah suatu ciri khas Indonesia.

Dalam wacana World Trade Organization indikasi geografis untuk anggur (wine) telah diperhatikan dan pada saat ini negara berkembang berjuang untuk memperluas cakupan perlindungan tersebut untuk produk lain yang mempunyai ciri khas. Indonesia sebagai negara berkembang juga ikut memperjuangkannya. Dalam tahun 2004 diidentifikasi beberapa produk pertanian yaitu kopi, tembakau dan lada, sedang untuk tahun berikutnya akan diidentifikasi beberapa produk non pertanian seperti batik, songket, tenun dan ukir-ukiran.

Indikasi geografis, definisi dan cakupannya.

Indikasi geografis adalah tanda yang digunakan untuk produk yang mempunyai asal geografis spesifik dan mempunyai kualitas atau reputasi yang berkaitan dengan asalnya. Pada umumnya indikasi geografis terdiri dari nama produk yang diikuti dengan nama daerah atau tempat asal produk. Produk pertanian pada umumnya mempunyai ciri khas/kualitas yang berasal dari tempat produksinya dan dipengaruhi oleh faktor lokal yang spesifik seperti iklim dan tanah. Apakah suatu tanda berfungsi sebagai indikasi geografis akan sangat tergantung kepada hukum nasional dan persepsi konsumen. Suatu hal yang harus diingat bahwa nama daerah yang diberikan pada suatu produk ada yang tidak terkait dengan asal produk itu walaupun hampir selalu demikian.

Salah satu contoh adalah penamaan Java, Java coffee dipakai untuk kopi yang berasal dari Jawa, Indonesia, akan tetapi nama Java juga dipakai sebagai nama bahasa pemrograman untuk perangkat lunak komputer, yang kaitannya dengan nama Java hanyalah karena pembuat program tersebut menggemari kopi dari Jawa. Indikasi geografis dapat digunakan untuk berbagai produk pertanian, sebagai contoh nama “Tuscany” dipakai sebagai indikasi geografis untuk minyak zaitun yang diproduksi di area tertentu Italia (dilindungi di Italia dengan Law No. 169 of February 5, 1992), atau "Roquefort" untuk keju yang diproduksi di Perancis (dilindungi di Masyarakat Eropa dengan Regulation (EC) No. 2081/92 dan di Amerika dengan US Certification Registration Mark No. 571.798).

Penggunaan indikasi geografis tidak terbatas kepada produk pertanian. Indikasi geografis juga dapat merupakan pertanda kualitas khusus produk yang disebabkan oleh faktor manusia yang dapat dijumpai hanya didaerah asal produk, yang berkaitan dengan keahlian dan tradisi khusus. Tempat asal tersebut mungkin berupa desa, kota, daerah atau bahkan nama negara. Suatu contoh adalah nama Swiss atau Switzerland yang dipandang sebagai indikasi geografis di banyak Negara untuk produk yang dibuat di Switzerland dan khususnya untuk jam dan untuk pisau. Kita kenal nama Switzerland watches atau Swiss army knife

Disamping indikasi geografis terdapat pula istilah lain yaitu appellation of origin yaitu indikasi geografis yang sangat spesifik, istilah ini digunakan untuk produk yang mempunyai kualitas spesifik yang secara eksklusif atau secara esensial disebabkan oleh kondisi geografis di tempat produk tersebut di produksi. Konsep indikasi geografis mencakup pengertian appellations of origin.

Indikasi geografis merupakan pertanda yang menunjuk kepada tempat khusus atau daerah produksi yang menentukan kualitas karakteristik produk yang dimaksud. Hal yang terpenting adalah bahwasanya produk tersebut mendapatkan kualitas khususnya dan reputasinya dari tempat tersebut Oleh karena kualitas tersebut tergantung kepada tempat produksi, maka terdapat “hubungan” atau ‘pertautan” antara produk tersebut dengan tempat produksi asalnya. Di samping indikasi geografis dikenal pula istilah Indikasi asal yaitu tanda yang semata-mata menunjukkan asal suatu barang atau jasa.
Indikasi geografis dan merek

Merek adalah tanda yang digunakan oleh produsen untuk membedakan produk dan jasa yang disediakannya dengan produk dari produsen lain. Merek memberikan hak kepada pemiliknya untuk mengecualikan produsen lain dalam penggunaan merek yang sama. Indikasi geografis suatu produk menunjukkan kepada konsumen bahwa produk tersebut diproduksi di suatu tempat tertentu dan mempunyai ciri khas yang disebabkan atau berasal dari tempat produksi tersebut. Indikasi geografis dapat digunakan oleh semua produsen yang mmbuat produknya di tempat yang disebutkan oleh indikator geografisnya dan yang produknya mempunyai kualitas yang khusus.

Indikasi geografis dimengerti oleh konsumen sebagai citra tentang asal dan kualitas produk. Banyak diantaranya yang telah mendapatkan reputasi yang berharga yang apabila tidak dilindungi secara baik, akan dapat disalahgunakan oleh pelaku komersial yang tidak jujur. Penyalahgunaan indikasi geografis akan merugikan baik konsumen maupun produsen. Konsumen ditipu dan dirugikan karena ciri khas dan kualitas produk yang dibeli tidak sesuai dengan seharusnya, sedang produsen dirugikan karena menurunnya mutu dan tidak sesuainya ciri khas produk akan mengakibatkan kekecewaan konsumen yang berakibat merusak reputasi produk tersebut.

Pengembangan indikasi geografis bersifat sangat menguntungkan karena disatu segi dapat ditegakkan perlindungan hukum bagi produk khas daerah di Indonesia yang dapat meningkatkan nilai tambah dan mendorong daerah untuk meningkatkan produk unggulan mereka, disegi lain sebagai perlindungan hak kekayaan intelektual perlindungan indikasi geografis bersifat komunal (dimiliki oleh masyarakat) dan bukan oleh perseorangan, disamping itu tidak seperti perlindungan HKI yang lain, perlindungan indikasi geografis bersifat permanen asal ciri khas dan kualitas barang yang dilindungi masih tetap sama.

Indikasi geografis di tataran internasional

Tanda pembeda yang menunjukkan asal geografis dari suatu produk adalah tipe merek yang paling awal, hal ini terbukti dengan merek berbagai produk di masa pra-industri, untuk mineral, barang buatan sederhana, maupun untuk produk pertanian. (Schechter, 1925). Blakeney (2001) melaporkan penggunaan nama binatang (panda beer), gunung (sake gunung Fuji), bangunan (sutera Pisa), tanda kesukuan (mentega fleur de lys), dan nama orang yang dikenal (brandy Napoleon, cokelat Mozart) sebagai tanda pembeda yang menunjukkan daerah asal produk sekaligus menunjukkan kualitas atau reputasi tertentu. Dengan demikian nyatalah bahwa alasan ekonomi untuk melindungi indikasi geografis, seperti halnya merek, munul dari teori ekonomi yang berhubungan dengan informasi dan reputasi (OECD, 2000)..

Kandungan informasi dalam indikasi geografis mencakup 3 hal yaitu : nama produk, daerah asal geografis produk tersebut serta ‘kualitas, reputasi atau karakteristik lain yang disebabkan oleh daerah asal produk’ (Perjanjian TRIPs, Pasal 22.1).

Di berbagai negara dunia yang tergabung dalam Perjanjian Lisbon untuk indikasi geografis didapatkan penerapan indikasi geografis sebagai berikut :


*Hanya sigaret **Semua persentase dibulatkan *** Diolah dari Escudero (2001)

Dari tabel diatas terlihat bahwa perkembangan indikasi geografis sangat pesat di Uni Eropa. Kampf (2003) menyatakan bahwa lebih dari 20 % konsumen Uni Eropa telah fanatik dan secara teratur membeli produk produk indikasi geografis, dan 60 % lainnya kadang kadang membeli. Harga produk indikasi geografis di tingkat pengecer lebih mahal dibanding produk serupa yang bukan indikasi geografis. Uni Eropa potensial untuk tujuan pemasaran produk produk indikasi geografis, karena 43 % konsumen (sekitar 160 juta) bersedia membeli dengan harga 10 % lebih mahal untuk produk yang telah mendapatkan perlindungan indikasi geografis, bahkan sekitar 8 % konsumen (30 juta) bersedia membayar 20 % lebih mahal.

Sejumlah traktat atau perjanjian internasional yang dikelola oleh WIPO (World Intellectual Property Organization : Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia) memberikan perlindungan terhadap indikasi geografis, yang paling nyata adalah Paris Convention for the Protection of Industrial Property of 1883 (Konvensi Paris terhadap Perlindungan Kekayaan Industri) dan the Lisbon Agreement for the Protection of Appellations of Origin and Their International Registration (Perjanjian Lisbon tentang Perlindungan Appellations of Origin). Demikian pula Pasal 22 sampai 24 dalam TRIPS (the Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights) berhubungan dengan perlindungan internasional untuk indikasi geografis dalam kerangka kerja WTO (World Trade Organization = Organisasi Perdagangan Dunia).

Indikasi Geografis menurut TRIPS


Dalam Perjanjian TRIPs (Trade Related Intellectual Property Right’s ) indikasi geografis diperlakukan sebagai bagian dari hak kekayaan intelektual terkait dengan perdagangan yang harus dilindungi. Dalam TRIPs indikasi geografis didefinisikan sebagai berikut :

“Geographical indications are, for the purposes of this Agreement, indications which identify a good as originating in the territory of a Member, or a region or locality in that territory, where a given quality, reputation or other characteristic of the good is essentially attributable to its geographical origin” (Article 22.1).
“Indikasi geografis adalah, untuk keperluan perjanjian, adalah tanda yang mengidentifikasi barang yang berasal dari daerah Anggota atau daerah dalam wilayah tersebut, dalam hal, kualitas terkait, reputasi dan ciri khas lain dari barang tersebut adalah disebabkan oleh asal geografisnya (Pasal 22.1)

Tujuan perlindungan indikasi geografis adalah untuk mengurangi atau menghilangkan kompetisi yang tidak sehat yang merugikan baik produsen maupun konsumen. Pada saat ini dalam pasal 23 TRIPs anggur dan minuman beralkohol (wine and spirits) mendapatkan tingkat perlindungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk lain. Berbeda dengan perlindungan produk lain dalam pasal 22 yang menyebutkan bahwa tujuan perlindungan indikasi geografis yang lain hanyalah untuk mencegah terjadinya kompetisi tidak sehat (“unfair competition”), dalam pasal 23 untuk anggur dan minuman beralkohol terdapat perlindungan “absolut” yang mencakup tiga hal sebagai berikut :

1.Indikasi geografis tidak dapat digunakan walaupun asal aseli barang disebutkan, atau walaupun bila indikasi geografis digunakan dalam terjemahan atau walaupun disertai kata-kata “seperti”; “ imitasi”; “our version”. Contoh yang tidak diperbolehkan misalnya “Champagne from Jakarta” atau “ Sampanye Jawa” atau “ Our version of Champagne from Central Java”

2.Berdasarkan permintaan pihak terkait atau ex officio sejauh hukum memungkinkan, pendaftaran merek yang mengandung indikasi geografis harus ditolak atau dibatalkan bila menyangkut anggur dan atau minuman beralkohol.

3.Perjanjian TRIPs akan mengundang negosiasi yang bertujuan untuk meningkatkan perlindungan terhadap indikasi geografis individual menyangkut anggur dan minuman beralkohol.

Elemen yang terakhir ini disanggah oleh banyak negara yang berpendapat bahwa kewajiban untuk meningkatkan tingkat perlindungan meliputi tidak hanya anggur dan minuman beralkohol saja akan tetapi seharusnya juga untuk produk yang lain.

Namun demikian akhir-akhir ini indikasi geografis semakin diperhatikan, sebagai contoh suatu masukan ke TRIPs Council mengakui adanya
“considerable potential for commercial use … [as having stimulated] awareness of the need for more efficient protection of geographical indications” (IP/C/W/204, paragraph 2).

“potensi yang besar untuk penggunaan komersial..[setelah menstimulasi] kesadaran akan kebutuhan untuk perlindungan yang lebih efisien terhadap indikasi geografis.

Pembicaraan di WIPO telah merefleksikan bahwa terdapat hubungan yang bermanfaat antara indikasi geografis dan upaya yang lebih luas untuk melindungi pengetahuan tradisional.

Indikasi geografis di Uni Eropa

Negara anggota Uni Eropa yang telah lama mengembangkan produk indikasi geografis seperti misainya Perancis, Portugal, dan Spanyol. Disamping perlindungan di tingkat nasional, Uni Eropa juga merasa perlu untuk memberikan perlindungan yang efektif terhadap indikasi geografis di tingkat regional. Pendaftaran perlindungan ditingkat Uni Eropa akan memberikan dampak perlindungan yang lebih luas, yaltu di seluruh negara negara anggotanya. Perlindungan ini dianggap penting karena nama tempat dapat menjadi sangat terkenal di luar tempat tersebut, dan juga memungkinkan terjadinya persaingan dengan produk produk tiruan dengan menggunakan nama yang sama.

Filosofi dasar pemberian perlindungan oleh Uni Eropa adalah karena indikasi geografis dapat digunakan sebagai sarana pembeda yang bermanfaat bagi produsen (mudah melakukan akses pasar, investasi yang ditanamkan akan memperoleh pengembalian yang lebih terjamin karena harga jualnya lebih mahal) dan konsumen (membantu dalam mengidentifikasi suatu barang yang akan dibell dan memperbanyak pilihan)

Pendaftaran indikasi geografis di Uni Eropa mengandung elemen elemen "TRIPS plus" sebagai sarana perlindungan di dalam wilayah teritoriainya, karena :
1. Memberikan perlindungan positif
2. Penegakan hukum dapat dilakukan oleh pemegang hak dan/atau kewenangan administratif

Pendaftaran perlindungan indikasi geografis di Uni Eropa berbeda dengan prosedur pendaftaran merek dagang dengan persyaratan dasar:
1. Identifikasi asal produk dengan. menggunakan nama geografis atau nama non geografis, dan
2. Ada hubungan antara reputasi, mutu, dan sifat sifat lain suatu produk dengan teritorial di mana suatu produk dihasilkan.

Lembaga pendaftar tergantung pada tipe produk yang akan didaftarkan. Untuk tingkat Uni Eropa adalah di Direktorat direktorat Jendral Komisi Eropa (Pertanian, Perdagangan, Pasar Internal, Urusan Hukum, Perusahaan, Perikanan). Sedangkan di negara anggota Uni Eropa pendaftaran dapat dilakukan oleh lembaga lembaga seperti Kantor HKI, Kantor khusus Indikasi Geografis, Departemen Pertanian, dll.).

Sampai saat ini terdapat tiga prosedur yang berbeda untuk pendaftaran indikasi geografis di Uni Eropa, yaitu:

1. Produk produk pertanian dan pangan menggunakan EC Regulation 2081/92
2. Anggur dan minuman beralkohol dengan EC Regulation 1493/99 dan 1576/89.
3. Produk kerajinan dan industri menggunakan Undang undang di masing masing negara anggota

EC Regulation 2081/92 telah operasional mulal tahun 1994. Sampai dengan bulan Juli 2003 telah menerima 1800 pengusul, dan yang telah resmi terdaftar mendapatkan perlindungan indikasi geografis sebanyak 622 produk. Tiap tahun sekitar 25 produk baru (paling banyak pertanian dan pangan) terdaftar dan mendapat perlindungan.

Hak yang diberikan oleh Uni Eropa adalah
1. Hak eksklusif dan dan perlindungan penuh di seluruh Uni Eropa melalui satu pelabuhan masuk (hanya digunakan oleh produsen produsen dari daerah tertentu dan sesuai dengan tatacara memproduksi barang seperti yang tercantum dalam spesifikasi yang telah diberikan) dan

2. Menggunakan logo Uni Eropa
Sebagai contoh produk indikasi geografis dari salah satu negara anggota Uni Eropa di bawah ini disampaikan produksi Champagne dari Perancis sebagaimana yang d1laporkan oleh Ozaman (2003). Champagne merupakan sparkling wine yang memIlIki reputasi tinggi karena mutu dan rasanya.

Secara teknis Champagne dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kawasan kecil di baglan timur laut Perancis
2. Kawasan perkebunan anggur terbatas seluas 31.000 ha, yang batas batasnya ditentukan oleh pemerintah
3. Seluruh perkebunan anggur menggunakan tiga varietas khusus (Pinot noir, Pinot meunler, dan Chardonnay).

Proses produksi Champagne diatur dengan Peraturan Pemerintah, yaitu dengan membuat kriteria perkebunan anggur dan perajin (pengolah) wine dalam rangka memperoleh manfaat dari "Champagne appellation " (indikasi geografis dalam Lisbon Agreement 1958).

Produksi Champagne dilindungi oleh undang undang, dan kenyataannya pengaturan dari pernerintah dipandang perlu sebagai sarana memakmurkan dan mengembangkan wilayah ini secara keseluruhan dan terpadu, sehingga produknya sesuai dengan permintaan konsumen. Produksi Champagne memiliki arti ekonom] yang cukup nyata karena:

1. Melibatkan 15.000 pekebun anggur dan 200 rumah produksi (perajin).
2. Total penjualan mencapai sekitar 280 juta botol per tahun, penjualan dilakukan dilebih dari 150 pasar yang berbeda, dengan total nilai penjualannya mencapai 1,5 milyar Euro.

Indikasi geografis di Asia

Negara yang aktif menggunakan dan melindungi indikasi geografis adalah India dan Cina. Produk produk yang potensial mendapatkan perlindungan indikasi geografis di India India diperkirakan sekitar sepertiga dari produk yang ada selama ini, yang totalnya diperkirakan sebanyak 36.000 produk. India mengembangkan sistem informasi produk ini dengan mendirikan products digital library. Di bawah ini adalah beberapa contoh produk yang potensial untuk mendapatkan perlindungan indikasi geografis di India:

1. Produk pertanian: Nehlor, Dehradun (beras), Punjab wheat (tepung terigu), Alphonso, Daseri dan Ratnagiri (Mangga), Bihar (leci), Nagphur (Jeruk), Bengalore Brinjal dan Calicut Ginger (sayuran), Anand milk (susu), Malabar pepper (rempah), Assam (teh), dll
2. Produk tambang: New Castle (batubara), Kolker (emas).
3. Produk kerajinan: Paithani and Banaras sarees (sari), Kholappur slipper (sandal).
4. Wine: Fent liquor dari Goa.
5. Makanan hasil olahan: Appam Kerala (kue), Punjabi Samosa, dan Mysore rasam.

Selain India negara Asia lain yang aktif dalam pengembangan indikasi geografis adalah Cina atau RRC. Pada akhir tahun 2002 di RRC telah terdapat 43 produk yang mendapat perlindungan indikasi geografis, dan dalam waktu dekat akan segera menyusul 80 produk lain (yang sebagian besar produk produk yang berasal darl tanaman obat). Beberapa contoh produk IG dari RRC adalah Long Jin tea, Shaoxing yellow ricespirit, Xuanwei ham, Xuancheng art paper, Yantal apple, dan Changbaishan ginseng.

Indikasi geografis, perlindungan hukum dan bagaimana mempertahankannya


Sebagaimana disampikan diatas Indikasi geografis dilindungi sesuai dengan hukum nasional dan dibawah berbagai konsep yang luas seperti halnya peraturan/perundangan anti persaingan tidak sehat, peraturan/perundangan perlindungan konsumen, perlindungan sertifikasi merek atau peraturan/perundangan yang khusus dibuat untuk melindungi indikasi geografis dan apellations of origin. Inti perlindungan hukum ini ialah bahwa pihak yang tidak berhak tidak diperbolehkan menggunakan indikasi geografis bila penggunaan tersebut mungkin dapat menipu masyarakat tentang asal asli produk tersebut. Sangsi yang dapat diterapkan berkisar dari perintah pengadilan yang melarang penggunaan indikasi geografis tersebut dan denda atau dalam kasus yang serius, hukuman penjara.

Sifat khusus indikasi geografis bisa hilang atau dengan kata lain dapat menjadi generik, bila istilah geografis digunakan lebih sebagai penanda jenis produk daripada indikasi tempat asal produk tersebut. Bilamana hal seperti itu terjadi di negara tertentu selama waktu yang cukup lama maka negara tersebut mungkin dapat melihat bahwa konsumen telah mengkaitkan bahwa istilah geografis yang semula berarti asal produk – sebagai contoh “Dijon Mustard”, sejenis mustard yang berasal dari Dijon, salah satu kota di Perancis – sekarang telah menjadi nama generik yang lebih berkaitan dengan jenis mustardnya daripada mustard yang berasal atau diproduksi dari Dijon.

(Bersambung ke Bagian 2)

Cita Rasa Kopi Indonesia Kehilangan Identitas Asli

JAKARTA--MI: Kalangan importir mulai mempertanyakan cita rasa kopi asal Indonesia, setelah tidak ada konsistensi industri kopi dalam negeri dalam menjaga kualitas produk.

Di sisi lain, penguasaan merek dagang kopi Indonesia seperti Kopi Gayo dan Kopi Toraja oleh sejumlah negara, menjadi ancaman terhadap eksistensi industri kopi nasional.

"Menurut para importir dunia, kopi spesial Indonesia telah kehilangan identitas asli, dengan banyaknya eksportir yang mengkombinasikan kopi dari berbagai daerah. Ini berbeda dengan yang dilakukan Afrika," kata Chief of Party dari Agribusiness MArketing and Support Activity (AMARTA) USAID Dave Anderson, disela peluncuran terbentuknya Asosiasi Kopi Spesial Indonesia (AKSI), di Jakarta, Selasa (12/2).

Dia mengatakan, seharusnya Indonesia melakukan proteksi kualitas dan identitas asli kopi, seperti yang dilakukan oleh negara lain seperti Afrika. Untuk diketahui, ujarnya, penolakan ekspor kopi asal Indonesia di sejumlah negara terjadi karena produk yang diterima berbeda dengan sampel kopi yang ditawarkan sebelumnya.

"Ini berbahaya bagi reputasi kopi Indonesia. Untuk itu kami berharap, pembentukan asosiasi ini dapat memperkuat citra dan kualitas kopi Indonesia lebih baik lagi," tuturnya.

Dalam kesempatan itu, Anderson mengungkapkan, lahan kopi Arabica asal Indonesia telah mengalami penurunan dari 112.372 hektare (ha) pada 2004 menjadi 101.868 ha pada 2006. Namun begitu, produksi kopi malah mengalami kenaikan dari 51.084 ton (2004) menjadi 61.351 ton (2006).

Lonjakan produksi itu turut mendongkrak nilai ekspor dari US$62,4 juta pada 2004, menjadi US$136,3 miliar pada 2006. "Ini memberikan indikasi adanya pertumbuhan permintaan untuk kopi jenis Arabika. Selain itu, angka ini menunjukkan produktivitas yang meningkat, dilihat dari produktivitas per hektar yang naik dari 455 kg per ha menjadi 602 kg per ha," papar Anderson lagi.

Terkait hal itu, Ketua Umum AKSI Tuti H Mochtar mengatakan, salah satu faktor yang menyebabkan menurunnya luas lahan areal tanam kopi adalah beralihnya fungsi lahan. Perkebunan kopi banyak yang dijadikan lahan perkebunan untuk komoditas lain seperti kelapa sawit.

"Produksi kita masih ketiga di dunia setelah Brasil dan Vietnam. Turunnya luas lahan karena banyak lahan kopi yang ditelantarkan karena harga jual kopi saat ini menurun," terang dia.

Sedangkan menanggapi penggunaan nama kopi asal Indonesia seperti Kopi Gayo oleh Belanda dan Kopi Toraja oleh Jepang, Tuti menilai, hal itu terjadi akibat masih minimnya sosialisasi akan pentingnya merek dagang, di kalangan industri kopi nasional.

"Tapi, bagaimanapun juga Kopi Gayo itu tidak bisa di trademark oleh negara lain. Kita sedang mengupayakan merek dagang itu dilihat menurut letak geografisnya," kata Tuti kepada Media Indonesia.

Pembentukan AKSI, lanjutnya, salah satunya didasari oleh upaya memperkuat eksistensi industri kopi dalam negeri di dunia internasional. "Sebagai sebuah negara, Indonesia tidak dikenal sebagai negara produsen kopi terbaik di dunia. AKSI ingin merubah kondisi ini," imbuhnya.(Zhi/OL-03)

Penulis: Hanum
Sumber: media indonesia

Saturday, February 09, 2008

Kopi Gayo Jadi Merk Belanda ; Bentuk Penjajahan Ekonomi

BANDA ACEH - Warga Aceh Tengah dan Bener Meriah di Banda Aceh, yang tergabung dalam KNA, Ippemata, dan HPBM, menilai kopi Gayo didaftarkan menjadi merk dagang Belanda merupakan salah satu bentuk penjajahan ekonomi .

Ketua Umum KNA HM Rasyidin Saly, Ketua Umum HPBM Albar, dan Ketua Umum Ippemata Dihansyah, menyatakan itu dalam siaran pers bersama yang diterima Serambi, tadi malam.

Mereka mengecam perusahaan kopi Belanda, yang dengan seenaknya memakai merk Kopi Gayo demi keuntungan pribadi, tanpa melihat dampak ditimbulkan. Gara-gara didaftarkan sebagai merk dagang Belanda, yang sangat dirugikan adalah para petani di Aceh Tengah dan Bener Meriah, ketus mereka.

Akibat telah menjadi merk dagang kopi Belanda, hasil kerja keras petani tidak lagi dihargai setimpal. Kini, para eksportir kopi dari dataran tinggi Gayo tidak boleh lagi mengekspor komoditas kopi dengan menggunakan merk Kopi Gayo. Kosekwensinya, komoditas kopi di sana tidak lagi memiliki nilai tawar tinggi, harganya jadi rendah, sehingga menurunkan semangat masyarakat petani kopi Gayo.

Masyarakat Aceh Tengah dan Bener Meriah di Banda Aceh, juga meminta Pemerintah Aceh Tengah dan Bener Meriah, serta pemerintahan Aceh, secepat mungkin menindaklanjuti persoalan merk Kopi Gayo tersebut, melalui jalur hukum.

Bukan hanya masalah merk saja. Tapi, menyangkut kelangsungan hidup ribuan petani kopi Aceh Tengah dan Benar Meriah. Kopi juga merupakan salah satu PAD paling potensial di dua daerah itu, kata HM Rasyidin Saly.

Kasus merk kopi Gayo, kata dia, seharusnya bisa belajar dari berbagai kasus dengan Malaysia, seperti kasus hak cipta tari Reog Ponorogo dan lagu Rasa Sayange. Maunya pemerintah Indonesia jangan hanya mengirim surat keberatan, tapi jauh dari itu. Kalau perlu, harus diancam. Kami dukung Pemerintah Aceh Tengah, untuk mendaftarkan hasil kerajinan dan pertanian Gayo. Jangan terulang lagi kasus Kopi Gayo, papar mereka (Serambi/hel)

Kopi Gayo Didaftarkan Jadi Merek Dagang Belanda

TAKENGON – Sapi punya susu, lembu punya nama. Gayo punya kopi, Belanda punya nama. Inilah nasib Kopi Gayo sekarang. Komoditas tradisional yang sudah menjadi agriculture (tanaman budaya) bagi masyarakat Aceh Tengah itu, kini telah didaftarkan menjadi merek dagang milik negeri Belanda.

Hal itu terungkap dalam pembicaraan masalah merek dagang kopi Gayo pada Worskshop Penyusunan Buku Panduan Kopi Gayo yang diselenggarakan oleh Aceh Partnerships for Economic Development (APED) di Takengon, Aceh Tengah, Kamis (31/1) kemarin.

Para petani, pengusaha dan masyarakat Kabupaten Aceh Tengah kini harus berkecil hati dengan kebijakan yang ditempuh oleh para pengusaha negara Belanda yang mendaftar merek dagang Kopi Gayo menjadi merek dagang di negaranya. Ini berarti, para eksportir kopi dari dataran tinggi Gayo tidak boleh mengekspor komoditas kopi dengan menggunakan merek Gayo.

Sebelumnya, kepastian pendaftaran merek dagang (brand mark) Kopi Gayo menjadi hak paten negeri Belanda itu disampaikan oleh Kasi Pemeriksaan Formalitas Indikasi Geografis, Direktorat Merek Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia RI, Saky Septiono beberapa waktu lalu dalam pertemuan dengan penguasaha kopi Aceh. Dengan kebijakan yang ditempuh pihak Belanda itu, kita tidak bisa lagi mengekspor kopi merek Gayo ke negara Balanda, katanya.

Dikatakannya, hanya ada salah satu cara untuk mengekspor kopi Gayo ke luar negeri yakni dengan tidak menggunakan merek Gayo dengan konsekuensi komoditas itu tidak mempunyai nilai tawar yang tinggi di pasar kopi dunia, sehingga harganya dibeli di bawah harga pasar. Kini, kopi dengan merek dagang Kopi Gayo, tidak boleh lagi masuk ke negeri Belanda. Bahkan, dengan kebijakan itu, kopi menggunakan merek Gayo dari Indonesia tidak boleh langsung dipasarkan ke konsumen tanpa izin dari pemilik merek Kopi Gayo di negara Belanda, ujarnya lagi.

Keberatan

Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Pertambangan (Dispetindagtam) Aceh Tengah, Mirda Alimi SE MSi, Kamis (31/1) mengatakan, Pemkab Aceh Tengah akan mengirim surat keberatan kepada Menteri Hukum dan HAM RI mempertanyakan tentang Merek Kopi Gayo yang sudah didaftar di negera Belanda. Kopi Gayo, memiliki karakteristik dan ciri khas, berbeda dengan kopi yang ditanam di tempat lain. Kopi Gayo disukai oleh konsumen di Belanda, Amerika Serikat dan konsumen kopi negera Balanda, katanya.

Dikatakan, Pemkab Aceh Tengah sudah lama mengusulkan pendaftaran merek dagang kopi Gayo ke World Trade Organization (WTO) dan Menteri Hukum dan HAM RI, namun, hingga kini belum keluar izin hak paten dari kedua institusi itu. Secara hukum, pendaftaran merek dagang dengan indikasi geografis Gayo sangat merugikan pengusaha setempat, dengan didaftarkan oleh negara Belanda, maka nama kopi yang diproduksi masyarakat Gayo telah dimanfaatkan oleh orang lain dengan nama lain pula. Bila indikasi geografis Gayo digunakan oleh orang lain, maka hal itu dapat dituntut, ujar Mirda Alimi.

Sekadar contoh, katanya, pengusaha kopi di Makassar Sulawesi Selatan tidak boleh menggunakan merek Kopi Toraja untuk produk kopi yang ditanam di wilayah Makassar. Kata Kopi Toraja adalah hak eksklusif dari masyarakat Tana Toraja, begitu juga dengan Kopi Gayo. Selain Kopi Gayo, Kopi Toraja juga diketahui sudah didaftarkan sebagai merek dagang oleh pengusaha di Jepang, ujar Mirda Alimi.

Pengalamam di negara lain, di Thailand misalnya, telor asin saja didaftarkan sebagai produk indikasi geografis. Selain mendaftar merek kopi Gayo, Pemkab Aceh Tengah juga akan mendaftar hak paten untuk produk kerawang Gayo, Teh Sepang, dan Jeruk Keprok Gayo.(Serambi/min)

NAD diminta segera daftarkan Kopi Gayo

JAKARTA: Pengusaha kopi yang tergabung dalam Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia Nanggroe Aceh Darrussalam (NAD) diminta segara mendaftarkan Kopi Gayo sebagai produk indikasi geografis, sehingga membuka peluang untuk membatalkan pendafaran merek Kopi Gayo di Belanda.

Saky Septiono, Kasi Pemeriksaan Formalitas Indikasi Geografis, Direktorat Merek Ditjen Hak Kekayaan Intelektual, mengemukakan pemerintah sudah membuka pendaftaran produk indikasi geografis sejak September tahun lalu.

"Ditjen Hak Kekayaan Intelektual sudah menyarankan kepada pengusaha kopi di Aceh [NAD] untuk mendaftarkan Kopi Gayo sebagai indikasi geografis," ujar Saky.

Dia mengemukakan pendaftaran itu merupakan salah satu cara untuk menyiasati supaya kopi dari Gayo bisa masuk ke pasar Eropa, khususnya Belanda.

Selama ini, menurut dia, eksportir kopi tak bisa menggunakan kata kopi Gayo pada label produknya bila ingin masuk ke Belanda.

"Bila ingin masuk ke Belanda, kopi Gayo pada label produk kopi itu harus dihilangkan lebih dahulu karena kata Kopi Gayo sudah didaftarkan sebagai merek dagang oleh pengusaha di Belanda," ujarnya.

Bila kata Kopi Gayo itu dihapus pada label, katanya, maka konsumen tidak akan mengetahui lagi produk itu dari mana asalnya, sehingga harganya menjadi murah.

Jika Kopi Gayo sudah terdaftar sebagai indikasi geografis di dalam negeri, katanya, maka langkah berikutnya adalah mendaftarkannya di European Patent Office.

Bila cara seperti itu sudah ditempuh, ujarnya, maka terbuka peluang untuk membatalkan pendaftaran merek Kopi Gayo di Belanda. "Pada prinsipnya indikasi geografis tidak boleh didaftarkan sebagai merek dagang. Kopi Gayo itu adalah indikasi geografis di Indonesia," kata Saky.

Sementara itu, Insan Budi Maulana, konsultan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) mengemukakan bahwa kasus seperti itu pernah juga terjadi dengan Kopi Toraja di Jepang.

Pada waktu itu, katanya, solusinya adalah Badan Pengembangan Ekspor Nasional memberitahukan kepada Pemerintah Jepang bahwa Toraja itu adalah nama suatu daerah penghasil kopi di Indonesia, sehingga dengan cara seperti itu kopi dari Toraja bisa masuk Jepang.

Insan, praktisi hukum pada law firm Lubis, Santo & Maulana, juga menyarankan kepada Ditjen Hak Kekayaan Intelektual supaya melakukan langkah memberitahukan kepada mitranya di Belanda bahwa Gayo itu adalah suatu daerah penghasil kopi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Dengan cara demikian, menurut dia, tidak ada lagi hambatan bagi kopi itu masuk ke Eropa, khususnya Belanda. "Direktorat Kerjasama Ditjen Hak Kekayaan Intelektual hendaknya lebih berperan dalam kasus seperti itu."

Oleh Suwantin Oemar
Bisnis Indonesia