Oleh : Andi Tharsia*
Tradisi minum kopi bagi orang Gayo merupakan tradisi yang tidak bisa dipisahkan dari orang Gayo itu sendiri. Walau kaki berpijak di bumi rantau sekalipun, minum kopi bagi orang Gayo adalah menu yang tak bisa digantikan dengan apapun. Fanatisme terhadap kopi bagaikan merasuk di setiap sendi kehidupan orang Gayo. Bahkan ada ungkapan yang hampir menjadi fatwa ; bukan orang Gayo jika tak suka minum kopi. Secara bertahap, tradisi ini juga menunjukkan perkembangan berupa kembalinya semangat solidaritas sosial antara jema (orang) Gayo yang kini mengalami krisis akibat tuntutan hidup sehingga membuat individu bersikap egois.
Disamping itu, minum kopi ternyata mampu membuat peta politik tanah Gayo berubah melalui kedai-kedai kopi yang sedang tumbuh pesat. Para pakar, anggota dewan, praktisi pendidikan, juga melakukan hal yang sama. Mereka berbicara tentang sesuatu yang dapat memajukan daerah Gayo untuk jangka pendek dan jangka panjang secara formal dan informal, melalui diskusi publik yang diadakan para aktivis mahasiswa maupun yang diadakan oleh kalangan mereka sendiri, dengan bungkusan rokok bertumpuk dan kopi segelas di meja. Semuanya punya niat sama, yakni memajukan dan memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Kopi selalu hadir menemani mereka, bahkan minta porsi lebih. Kopi bagaikan candu yang senantiasa menemani hari-hari mereka yang “katanya” bekerja untuk rakyat. Tidak peduli bahaya hipertensi dan penyakit jantung yang akan diderita kemudian, yang penting : ngopi! Seolah-olah dengan minum kopi, daya nalar bisa lebih cepat tanggap, lebih arif bijaksana dalam memutuskan suatu perkara, walau temuan ilmiah belum melaporkan bahwa minum kopi bisa membuat otak lebih canggih dari sebelumnya.
Ekonomi kapitalis-liberalis
Ironisnya, kegemaran kita dalam mengonsumsi kopi tak sebanding dengan hasil yang didapat oleh petani kopi di tanah Gayo. Keringat yang mereka kucurkan saat memanen kopi, dibayar murah oleh tengkulak kopi dan biji kopi terbaik akan diekspor ke Jepang, Eropa, Amerika dan beberapa permintaan dari negara luar. Di saat yang sama, para petani kopi juga harus menyekolahkan anak-anaknya dalam keterbatasan ekonomi agar anak-anak mereka menjadi orang berpendidikan dan mampu hidup lebih baik dari orang tuanya.
Ekonomi kapitalis-liberalis adalah sistem yang bertanggung-jawab dengan fenomena ini. Efek dari sistem ini bagi petani kopi ibarat tertimpa tangga, kebun kopi yang dipanen tak dapat dinikmati, ditambah lagi dengan persentase keuntungan yang lebih kecil yang diberikan oleh tengkulak. Hal semacam ini cukup jelas untuk mendeskripsikan tentang pertumbuhan ekonomi dan pendapatan daerah di Gayo yang belum berhasil memberikan data statistik yang menanjak tentang kesejahteraan petani kopi. Kemakmuran dirasakan oleh segelintir orang dan perputaran uang hanya berada pada orang tertentu saja. Hitamnya kopi seakan sama kelamnya dengan masa depan kesejahteraan petani kopi Gayo itu sendiri. Kemakmuran masih jauh dari harapan dan himpitan ekonomi masih saja terus terjadi pada petani kopi.
Saya melihat masih terjadinya penetapan harga kopi yang tidak stabil dan adanya indikasi “pembagian jatah” antara pihak pengusaha dengan eksekutif yang mengakibatkan ketidakadilan bagi petani sebagai pihak tenaga produksi. Pihak yang berwenang mengurusi masalah ini, idealnya memiliki kepekaan dan menghentikan praktik KKN, serta lebih memprioritaskan kesejahteraan petani kopi Gayo plus fokus pada kualitas kopi Gayo di kancah dunia.
Kongkalikong
Ada 3 (tiga) solusi yang perlu menjadi perhatian pemerintah dalam memajukan kopi sebagai komoditi terbaik di tanah Gayo. Pertama, pemerintah perlu menetapkan regulasi harga secara ketat antara pengusaha dan petani. Antara petani dan pengusaha memiliki kesepakatan yang adil, dan pengusaha tidak boleh menetapkan omzet tinggi tanpa memikirkan kesejahteraan petani. Kedua, pemerintah kabupaten perlu segera tanggap untuk memutuskan rantai penghubung “kongkalikong” apapun, yang terbukti menimbulkan ketidakadilan bagi petani. Ketiga, perlunya pendampingan hukum bagi petani yang dilakukan lembaga hukum berwenang (LBH, LSM pro-kesejahteraan petani) agar petani tidak mudah ditipu dan diintimidasi oleh pihak tertentu apabila mereka menuntut keadilan atas hidup keluarganya.
Saya berharap kopi Gayo menjadi tuan rumah di tanahnya sendiri, bebas dari malpraktik harga dan kekuasaan dan kepentingan antara penguasa dengan pengusaha. Sesama penikmat kopi, kita perlu menyadari bahwa derita petani kopi Gayo ternyata lebih pahit dari kenikmatan kopi Gayo itu sendiri, yang biasa kita nikmati sehari-hari. Kita harus ambil bagian dalam mengenalkan kopi Gayo pada dunia melalui potensi yang kita miliki saat ini, apapun itu. Wallahu’alam bis shawab.
*Mahasiswa Gayo dan aktif di Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) wilayah Aceh.
(Sumber: www.lovegayo.com)
Tuesday, August 16, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment