Monday, January 14, 2013

Minum Kopi Massal 50 Ribu Orang di Bener Meriah Masuk Rekor MURI

 REDELONG  - Minum opi massal sebanyak 50 ribu plus 1 orang dan pagelaran kesenian Didong sebanyak 2.013 peserta memecahkan Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI). Penyerahan plakat MURI tersebut berlangsung pada penutupan Pacuan Kuda Tradisional Gayo di Lapangan Sengeda, Rembele Kecamatan Bukit, Bener Meriah, Minggu 13 Januari 2013.

Acara tersebut dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Bener Meriah untuk memperigati Hari Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Bener Meriah yang ke 9. Penutupan acara tersebut juga dihadiri oleh Menteri Pembagunan Daerah Tertinggal, Helmy Faishal Zaini, Anggota DPR RI Nova Iriansyah, Asisten Ekonomi dan Pembagunan Setda Aceh, Said Mustafa dan Mantan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf.

Pihak Muri langsung menyerahkan piagam penghargaan kepada Bupati Bener Meriah Ruslan Abdul Gani, karena telah memecahkan rekor Muri minum kopi massal sebanyak 50 ribu plus 1 orang dan pagelaran kesenian Didong oleh 2.013 peserta yang langsung disaksikan oleh Menteri Pembagunan Daerah Tertinggal.

Penutupan pacuan kuda tradisional gayo tersebut dimeriahkan oleh berbagai kesenian seperti Didong, Saman, Seudati, Kuda Kepang yang disaksikan oleh puluhan ribu pengunjung.[] (ihn)

Sumber: http://atjehpost.com

Tuesday, January 01, 2013

Apa Rahasia Kopi Indonesia dan Kopi Gayo?

TEMPO.CO , Jakarta--Jika benar kopi Gayo kini memiliki cita rasa beragam dan semakin baik dalam 2-3 tahun terakhir seperti yang dikatakan Adi Wicaksono Taroepratjeka, seorang Q grader--ahli uji rasa kopi, lalu apa yang menyebabkan itu terjadi?

Faktor tanah dan lingkungan sekitar memang amat menentukan, tapi itu saja tak cukup. Munculnya multirasa kopi spesial Nusantara ini ternyata dipicu oleh pengolahan kopi pasca-panen yang berbeda. Dan itu disebabkan oleh Internet. Bagaimana bisa Internet mempengaruhi rasa kopi? Koran Tempo edisi Ahad, 18 November 2012 mengulas soal kopi premium di Indonesia.

Dulu, perdagangan kopi selalu memakai perantara. Kopi dibeli oleh tengkulak, dikumpulkan di gudang, dijual ke makelar luar negeri, seperti Singapura, baru ke perusahaan pengolahan kopi di berbagai negara. Kini, setelah ada Internet, para pengelola kopi luar negeri banyak yang potong kompas, mendatangi langsung para petani di desa-desa Indonesia.

Adi melihat, mata rantai penjualan kopi yang kian pendek merupakan faktor penyebab terjadinya multirasa kopi Indonesia tersebut. “Buyer bisa meminta perubahan pengolahan kopi pasca-panen,” kata Adi. Akibatnya, beda petani, beda kebun, akan bisa berbeda rasa kopinya, tergantung bagaimana pengolahan pasca-panennya. Sebelumnya, kata Adi, petani umumnya hanya mengenal satu cara pengolahan, yakni proses natural. Petani memetik buah kopi kemudian langsung menjemurnya hingga kering.

Kini ada banyak alternatif pengolahan. Ada yang dicuci bersih baru dijemur; dicuci lalu dijemur setengah kering dan terus digiling. Ada juga yang menginginkan fermentasi yang tiga kali lebih lama (3 x 12 jam). “Setiap metode pengolahan akan menghasilkan karakter rasa yang berbeda-beda,” ujar Adi.

Adi mengaku belum bisa memastikan apakah kian kayanya cita rasa kopi Indonesia ini memberi keuntungan ataukah kerugian dalam jangka panjang. Misalnya, berkaitan dengan penerapan standar kualitas kopi. “Ini memang menyangkut quality control,” kata Adi.

Spektrum rasa yang sangat beragam ini, menurut Adi, bisa dibilang hanya terjadi di Indonesia. Negara penghasil kopi lainnya, seperti Brasil dan Ethiopia, mempunyai pakem pengolahan kopinya. Apalagi, di Brasil, produsen kopi umumnya adalah perkebunan pribadi milik keluarga kaya sehingga rasa cenderung seragam. Keseragaman ini bisa dikatakan sebagai hasil quality control yang bagus, tapi bisa juga ditafsirkan sebagai kemiskinan cita rasa.

Yang pasti, menurut Adi, beragam cita rasa itu membuat kopi Indonesia bisa memenuhi banyak pasar. Bisa masuk ke pasar Amerika, Jepang, Korea, yang selera rasanya berbeda-beda. Adi mencontohkan, PT Perkebunan Nusantara XII di Jawa Timur punya kebun-kebun kopi yang dikhususkan untuk kawasan tertentu. Ada kebun khusus untuk Italia, Amerika Serikat, dan Jepang.


IQBAL MUHTAROM | ISTIQOMATUL HAYATI | MAHBUB DJUNAIDY (JEMBER) | HIMAS PUSPITO PUTRA (TORAJA) | KETUT EFRATA (BANGLI)

Sumber: http://www.tempo.co

Industri Pariwisata adalah Perang, Siapkah Aceh Tengah Ikut Bertempur?

 Oleh : Win Wan Nur*

SEHARIsetelah pelantikan Nasaruddin sebagai Bupati Aceh Tengah untuk periode kedua. Lintas Gayo menurunkan berita tentang rencana Nasaruddin untuk memfokuskan masa jabatannya yang kedua ini untuk mengembangkan Pariwisata.

Ini tentu sebuah berita bagus yang perlu kita sambut dengan gembira. Sebab Pariwisata adalah salah satu industri terbesar di dunia, yang mendatangkan uang tunai (cash) yang selalu menimbulkan DAMPAK EKONOMI MULTI GANDA.

Bayangkan bagaimana dampak ekonomi langsung, dampak ekonomi tak langsung, dan dampak ikutan yang menggerakkan UMKM dan ekonomi rakyat Aceh Tengah. Seandainya pemerintahan Nasaruddin mampu mendatangkan 100.000 wisatawan saja per tahunnya dan masing-masing wisatawan menghabiskan uang 1 juta rupiah saja. Tentu saja itu sebuah bayangan yang indah.

Tapi perlu kita ketahui bersama, bahwa mengembangkan pariwisata dan mendatangkan turis ke tempat kita tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.

Mengapa?, karena ketika bicara tentang industri pariwisata berarti kita sedang bicara tentang sebuah industri yang sangat kompetitif dengan tingkat persaingan yang sangat tinggi dan ketat. Karena itulah keputusan untuk terjun ke industri pariwisata bisa diibaratkan seperti keputusan untuk turun berlaga ke dalam sebuah perang besar yang melibatkan banyak orang. Siapapun yang berencana melibatkan Aceh Tengah dalam industri pariwisata, harus menyadari bahwa bukan hanya Aceh Tengah tapi hampir semua daerah di dunia tergiur mengembangkan industri tanpa asap ini. Itu terbukti dari ada begitu banyaknya tempat berlibur di dunia. Di planet ini ada puluhan ribu tujuan wisata mulai dari tempat, fenomena alam, kota, museum, kapal pesiar, atraksi sampai resort wisata artifisial yang semuanya bertarung habis-habisan untuk menarik perhatian wisatawan.

Karena itulah ketika Nasaruddin benar-benar serius ingin membawa Aceh Tengah masuk dan sukses di industri ini, tentu saja Nasaruddin harus membuat Aceh Tengah siap berperang, bertarung dan bertempur dengan semua pesaing yang ada. Tanpa kesiapan itu, bisa dipastikan Nasaruddin hanya akan menghamburkan dana APBD tanpa hasil apapun yang bisa dipertanggung jawabkan kepada warga.

Tanpa perencanaan yang jelas dan matang, hampir bisa dipastikan promosi pariwisata akan berakhir seperti melempar garam ke laut. Contohnya seperti pembuatan Graffiti Gayo Highland pada periode pertama kekuasaan Nasaruddin, proyek bernilai ratusan juta ini menghasilkan efek NOL BESAR bagi pariwisata Aceh Tengah. Atau Visit Aceh Year, promosi yang menyedot anggaran entah berapa milyar yang sudah bisa dipastikan tidak akan membawa pengaruh signifikan terhadap perkembangan wisata di Aceh.

Lalu apa modal dan senjata Aceh Tengah untuk bertarung di dalam keras dan ketatnya persaingan industri pariwisata?.

Pertama-tama, tentu saja kenali diri, kelemahan dan kekurangan, dan petakan pula siapa pesaing dan temukan bagaimana cara mengungguli mereka.

Untuk itu sebelum memutuskan untuk mengembangkan pariwisata dengan tujuan memperoleh benefit baik bagi daerah maupun bagi warga, Aceh Tengah harus terlebih dahulu mengetahui bagaimana cara membuat wisatawan memutuskan untuk mengunjungi tujuan wisata yang kita tawarkan, bukan yang lain.

Untuk itu, Aceh Tengah bisa berkaca pada tetangga kita, Malaysia.

Mengapa Malaysia yang memiliki potensi ala kadarnya bisa mendatangkan turis sebanyak 40 juta orang per tahun, sementara Indonesia yang melimpah potensi dan sumber daya di lebih dari 17 ribu pulau hanya mampu mendatangkan 8 juta wisatawan setiap tahunnya, itupun 6 juta di antaranya disumbangkan oleh satu pulau kecil bernama Bali?

Jawabannya karena Pariwisata Malaysia dirancang dengan matang, sedangkan pariwisata Indonesia terbentuk dengan sendirinya tanpa perencanaan sama sekali.

Lalu, bagaimana cara merancang konsep pariwisata yang bisa mendatangkan turis seperti yang kita inginkan?

Pertama-tama, seperti yang sudah diulas di atas, kita harus mengetahui dengan baik kekurangan dan kelebihan kita. Membandingkannya dengan pesaing kita, kemudian menentukan segmen pasar yang ingin kita rebut dan setelah itu baru membuat strategi promosi yang tepat dan diarahkan tepat ke segmen yang kita sasar.

Berkaca kepada Malaysia, sebelum melakukan promosi habis-habisan dengan tagline “Malaysia Truly Asia”. Malaysia sudah terlebih dahulu mengukur kapasitas mereka.

Apa yang mereka punya?. Malaysia adalah negara tropis, artinya untuk menjual pariwisatanya mereka harus bertarung dengan negara-negara tropis lainnya, beberapa di antaranya adalah tetangga dekat yang sudah terlebih dahulu dikenal dalam peta pariwisata dunia. Sebelum kebangkitan pariwisata Malaysia, Thailand adalah icon pariwisata Asia Tenggara. Untuk yang lebih elit, Bali adalah nama yang mendunia. Baik Thailand maupun Bali adalah negeri tropis dengan pantai yang indah yang juga ada di Malaysia, tapi Bali dan Thailand memiliki budaya khas Asia yang begitu eksotis di mata pelancong barat yang menjadi target pasar mereka, sesuatu yang tidak dimiliki Malaysia.

Jadi bagaimana cara Malaysia meyakinkan wisatawan yang menjadi target mereka untuk berkunjung ke Malaysia, bukan Thailand atau Bali?. Mereka harus menciptakan sesuatu yang unik yang berbeda (different) sebagai magnet untuk menarik wisatawan berkunjung ke sana. Dan apa yang mereka punya?. Kebetulan di Malaysia didiami oleh tiga etnis utama Asia, Cina, India dan Melayu. Sebenarnya ini adalah masalah di dalam negeri Malaysia, tapi dalam konteks pariwisata justru kelemahan inilah yang mereka olah dan posisikan menjadi keuntungan mereka. Keberadaan ketiga etnis utama itu membuat Malaysia berani menegaskan diri sebagai Asia yang sebenarnya. Untuk memposisikan diri berbeda dan lebih unggul dibanding kompetitor lainnya. Inilah yang disebut dengan positioning. Oleh Malaysia, posisi ini kemudian mereka olah menjadi sebuah Branding dahsyat “MALAYSIA TRULY ASIA” yang dipromosikan secara massif ke seluruh penjuru dunia.

Bagi kita yang mengetahui keadaan Malaysia sebenarnya, mungkin menganggap tagline ini sebagai omong kosong saja. Tapi itulah BRANDING yang diciptakan untuk menarik perhatian target pasar. Sebenarnya apa yang dilakukan Malaysia ini masih dalam tahap wajar jika dibandingkan dengan yang dilakukan Skotlandia yang memproduksi dongeng ‘Nessie’, yang konon merupakan monster di Loch Ness (Danau Ness) untuk menciptakan rasa penasaran orang untuk berkunjung ke sana. Meskipun sampai hari ini tidak pernah ada bukti kuat tentang keberadaan makhluk itu, tapi dongeng dan kontroversi tentang ‘Nessie’ terbukti telah berhasil menarik jutaan wisatawan berkunjung ke sana setiap tahunnya.

Dengan Brand yang kuat seperti itu, Malaysia kemudian menyerang ke semua segmen pariwisata seperti; Health & wellness tourism, education tourism, shopping tourism, sport tourism, eco tourism, cruise tourism, youth tourism bahkan gambling tourism. Tentu saja setiap segmen itu diserang dengan pendekatan yang khas pula. Sehingga tidak mengherankan, mereka yang potensinya hanya seujung kuku Indonesia bisa menghadirkan 40 juta wisatawan setiap tahunnya.

Dengan promosi yang masif seperti itu, di dalam negeri sendiri, mereka juga memastikan semua infrastruktur, regulasi dan pelayanan juga mendukung konsep pariwisata yang mereka canangkan. Sehingga wisatawan yang datang karena promosi besar-besaran yang mereka lakukan, benar-benar puas dan tidak menyesal sudah mengeluarkan uang untuk berlibur ke Malaysia.

Lalu bagaimana dengan Aceh Tengah, apa kelebihan Aceh Tengah yang bisa membuat wisatawan datang berkunjung, rela menghabiskan waktu dan membelanjakan uang?

Yang langsung kelihatan tentu saja pesona danau Laut Tawar.

Pertanyaan selanjutnya, siapa pesaingnya?. Untuk pertanyaan ini, jawabannya tergantung pada pasar mana yang akan disasar.

Kalau pasar yang dituju adalah penduduk Sigli, Bireun sampai Lhokseumawe. Laut Tawar tak punya pesaing, kita bisa membuat satu brand yang kuat, kata-kata promosi yang mengena yang ditujukan ke pasar tersebut.

Tapi untuk penduduk Banda Aceh, Langsa, Meulaboh, Tapak Tuan apalagi Medan. Kalau sekedar melihat danau dan menikmati dinginnya kota Takengen, sudah hampir pasti mereka berpikir, pengorbanan itu terlalu besar. Sebab dengan pengorbanan yang hampir sama mereka bisa menikmati wisata ke Medan yang menawarkan wahana liburan yang lebih beragam, atau kalaupun ingin menikmati danau, sekalian saja ke danau Toba yang secara nasional dan internasional sudah memiliki Branding yang sangat kuat, ditinjau dari segi apapun jauh mengungguli Laut Tawar.

Apalagi kalau kita bicara tentang mengundang turis manca negara. Kalau hanya mengandalkan Laut Tawar, jelas yang bisa diharapkan datang hanya turis-turis kere ‘tersesat’ bermodalkan informasi dari ‘Lonely Planet’ atau ‘Le Guide du Routard’ yang iseng datang ke Takengen yang nyaris tidak membawa dampak ekonomi apapun pada Aceh Tengah. Sebab, berbicara tentang mendatangkan turis Manca Negara. Jangankan bicara bersaing dengan berbagai tujuan wisata di dunia. Bersaing dengan kompetitor di Sumatera saja, Laut Tawar sudah jelas keteteran dibandingkan danau Toba, Singkarak dan Maninjau yang memiliki akses yang lebih mudah dan infrastruktur serta SDM yang sudah lebih tertata.

Lalu apa yang harus dilakukan oleh Aceh Tengah supaya terlihat berharga untuk dikunjungi oleh turis Manca Negara?.

Aceh Tengah harus menemukan satu pembeda (Differentiation) yang jelas dengan tujuan wisata lainnya, sebagaimana Malaysia menemukan “Malaysia Truly Asia”.

Apa itu?. Jawabannya adalah KOPI.

Harap diketahui, Tanoh Gayo, yang merupakan gabungan dari tiga kabupaten (Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues) adalah penghasil kopi Arabika terbesar di Asia.

Terkait dengan ini, satu fakta baru yang penulis dapatkan ketika pulang ke kampung halaman september silam. Saat berbincang-bincang dengan para pelaku usaha kopi di Takengen. Ternyata Kopi Gayo memiliki satu karakter yang sangat unik. Segala perbedaan lingkungan ekstrim yang ada di Tanoh Gayo ini, membuat segala macam rasa khas kopi istimewa Dunia ada di Tanoh Gayo. Rasa khas Kopi Kintamani, Sulawesi bahkan sampai Kolombia dan Kenya pun bisa ditemukan di tanah ajaib ini. Keajaiban seperti yang ada di Gayo, tidak dapat ditemukan di sentra produksi kopi manapun di planet Bumi. Ternyata Gayo adalah surga kopi layaknya Bordeaux yang merupakan surga bagi para pecinta anggur.

Dan perlu diketahui pula kopi arabica sendiri adalah jenis kopi yang dikonsumsi oleh 85% peminum kopi dunia yang jumlahnya lebih dari semilyar orang, tersebar di berbagai negara. Ini semua adalah target pasar yang empuk bagi Aceh Tengah yang merupakan Surga Kopi. Dengan memposisikan diri sebagai surganya kopi dan dengan potensi pasar sebesar itu, sangatlah tidak mustahil untuk mendatangkan 100.000 turis ke Aceh Tengah, setiap tahunnya.

Selanjutnya, yang perlu dilakukan oleh pemerintah Aceh Tengah adalah menemukan strategi promosi yang tepat, pemilihan kata-kata yang bertenaga (powerful) dan yang terpenting sasaran yang tepat. Sebab fakta ini sangat bisa dieksploitasi menjadi satu senjata berupa Branding yang kuat untuk membuat Gayo secara umum dan Aceh Tengah secara khusus sebagai satu daerah tujuan wisata penting di dunia. Karena dengan mengambil ‘positioning’ ini, Aceh Tengah akan benar-benar melaju sendirian di Asia Tenggara. Tanpa lawan sama sekali.

Bersamaan dengan itu, pemerintah Aceh Tengah juga harus menyiapkan berbagai regulasi, infrastruktur dan terutama SDM, edukasi dan advokasi kepada masyarakat yang akan menjadi subjek utama pariwisata yang akan dikembangkan.

Dan menariknya, kalau yang dijadikan tema utama pariwisata Aceh Tengah adalah Kopi, pemerintah Aceh Tengah hanya perlu menganggarkan dana untuk promosi dan infrastruktur saja, bahkan untuk promosi ke luar negeri masih bisa meminta dana dari Kementrian Pariwisata dan ekonomi kreatif. Sementara untuk pengembangan SDM, edukasi dan advokasi masyarakat, pemerintah Aceh Tengah tidak perlu pusing dalam menganggarkan dana. Sebab sistem perdagangan modern melalui WTO telah mewajibkan seluruh perusahaan yang ‘Go Public’ untuk mengeluarkan ‘CSR’ (Corporate Social Responsibility), dana semacam zakat yang berjumlah 2,5% dari keuntungan bersih perusahaan setiap tahunnya, untuk dikembalikan ke masyarakat yang memiliki kaitan dengan produk mereka.

Untuk itu sebagaimana pemerintah Kabupaten Buleleng di Bali yang merupakan daerah penghasil cengkeh (bahan baku utama rokok kretek) yang berhasil membuka sekolah unggulan dengan biaya sepenuhnya berasal dari dana CSR PT. H.M Sampoerna. Pemerintah Aceh Tengah hanya perlu menyiapkan konsep yang jelas tentang pengembangan SDM pariwisata terkait kopi, edukasi dan advokasi masyarakat, selanjutnya tinggal mengajukannya ke perusahaan-perusahaan kopi yang sudah Go Public, semacam Starbucks, Illy dan roaster-roaster besar di Amerika, Jepang dan Eropa. Mereka pasti akan mengeluarkan dana.

Jadi sekarang, mau dibawa kemana pariwisata Aceh Tengah. Mau sekedar ‘membuang garam ke laut’ yang fungsinya tidak lebih sebagai pencitraan yang mendongkrak popularitas pribadi?. Atau menjadikannya sebagai sebuah industri yang mensejahterakan rakyat?.

Semua berpulang kepada Nasaruddin sebagai bupati.



*Penulis adalah Direktur PT. Fortuna Media
Perusahaan Konsultan Branding yang berpusat di Jakarta

Sudah pernah dimuat di www.lintasgayo.com

Tahun 2012, Tahun Kebangkitan Kopi Arabika Gayo

 Catatan Khalisuddin*

TAHUN 2012 adalah tahun kebangkitan Kopi Arabika Gayo. Pernyataan ini dicuatkan oleh tim peneliti tentang Kopi dan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Gayo yang difasilitasi Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Banda Aceh.

Dari data penelitian dan amatan selama beberapa waktu belakangan ini dapat disimpulkan bahwa tahun 2012 adalah tahun kebangkitan Kopi Arabika Gayo. Demikian kami nyatakan bersama-sama didepan puluhan peserta seminar yang digelar 24 Nopember 2012 lalu di hotel Oasis Banda Aceh.

Kebangkitan tersebut diawali dengan berhasilnya diperoleh Identifikasi Geografis (IG) kopi Gayo yang digawangi Masyarakat Petani Kopi Gayo (MPKG) dan Forum Kopi Aceh didukung APED-UNDP, 28 April 2010 silam. Ini merupakan kekuatan dan kekayaan yang diakui secara sah

Lalu perhatian terhadap kopi dengan segala sisinya dari hulu hingga hilir mulai bermunculan. Di tahun 2012, tidak berlebihan disimpulkan merupakan puncaknya. Nyaris semua kalangan, masyarakat, elemen sipil dan pemerintahan di Gayo (Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah) menaruh perhatian terhadap kopi.

Tahun 2012 sebagai Tahun Kebangkitan Kopi Arabika Gayo. Dasarnya, banyak hal yang terjadi terkait perkembangan kopi Arabika Gayo yang puncaknya terjadi di tahun 2012.

Kualitas bibit, teknis pemeliharaan, panen, pengolahan pasca panen dan bagaimana memasarkan kopi mendapat perhatian lebih dari pelaku kopi dari hulu hingga hilir, termasuk pemerintah.

Penjelasan Armiyadi, seorang Q-Grader (penguji kualitas) Kopi Gayo sekaligus pemilik Asa Kopi Cafe yang berlokasi di Simpang Wariji Takengon, tahun 2012 adalah tahun kebangkitan kopi Gayo memiliki sejumlah latar belakang.

Pertama, pihak asing melalui Non Government Organization (NGO) seperti IOM yang terlibat langsung untuk aktif dan berpartisipasi terhadap dunia perkopian seperti IOM yang memberi sumbangan terhadap perkopian Gayo baik dari segi pendidikan sarana dan informasi lain yang bertujuan untuk membangkitkan perkopian Gayo. Lalu Mercy Corp yang memberi sumbangan pendidikan keuangan kepada kelompok tani sehingga petani mampu memanfaatkan uang ketika panen kopi dan bisa tidak berhutang ketika masa paceklik. Save Children, beroperasi di Bener Meriah membina kelompok melalui pembinaan kelompok dan bantuan modal kepada kelompok tani.

Di Gayo mulai dikenal luas tentang pentingnya test cup dan 99 persen pembeli luar mewajibkan adanya test cup untuk mengukur kualitas citarasa kopi yang akan mereka beli.  Jumlah pembeli yang datang langsung ke Tanah Gayo tidak kurang dari 2 kelompok perbulannya, yang melihat dan mencari pasar langsung kepada setiap koperasi bersertifikasi yang saat ini sudah 17 koperasi bersertifikasi Internasional. Perkembangan Koperasi yang bersertifikasi terus bertambah dan di tahun 2012 saja bertambah 4 koperasi yang sudah sah bersertifikasi Internasional dan siap memasarkan produk kopi Gayo.

Selanjutnya, terbentuk koperasi-koperasi bersertifikasi internasional membuahkan Asosiasi perkopian yang berperan dalam memberi masukan dan saran ke dunia internasional baik dari segi aturan dagang atau standar maupun posisisi tawar kopi dan even-even yang berskala internasional dan nasional yang bertujuan untuk mempopulerkan atau mempromosikan Kopi Gayo termasuk petani atau pelaku kopi yang saat ini bukan hal yang langka lagi melakukan meeting dan pameran di luar negeri seperti India, Amerika, Korea, Vietnam dan negara-negara lainnya.

Harga kopi dan hasil yang cukup baik  2011 dan 2012 memberi dampak yang sangat hebat terhadap pertumbuhan ekonomi di dataran tinggi Gayo. Salahsatu contoh efeknya adalah peningkatan daya beli petani terhadap kenderaan bermotor, roda dua misalnya. Sempat mengalami antrian disalahsatu dealer di Takengon.

Kondisi pasar kopi dunia yang mengedepan kualitas tinggi merangsang lahirnya penguji kualitas (Q-Grader) sebelum di ekspor dan di Gayo terbentuklah Gayo Cupper Team. Dan peminat untuk menguasai keahlian ini sangat banyak hingga ratusan orang dari banyak kalangan, khususnya kaum muda Gayo. Kini ada 14 orang yang kantongi sertifikat Q-Grader.

Di Tahun 2012 terjadi modernisasi minum kopi, bermunculan cafe dan usaha roasting. Tumbuhnya kopi shop atau kopi retail yang saat ini sudah berjamur dan berjumlah sedikitnya 12 kedai atau toko dengan merek Kopi Gayo meyakinkan kita bahwa kopi Gayo memang sedang tumbuh dan bermetamorfosis menuju Kopi Gayo yang lebih mantap.

Armiyadi mengklaim, perdagangan kopi Gayo yang awalnya berkiblat ke Medan Sumatera Utara dalam waktu 5 tahun terakhir sudah terbalik. Medan dipaksa terpaksa berkiblat ke Gayo. Buktinya, berbilang perusahaan kopi di kota Medan membuat perusahaan dan koperasi di Dataran Tinggi Gayo serta harga kopi yang berbeda harga Rp. 1000 hingga Rp. 2000 lebih tinggi di Gayo.

Tahun 2012 tahun kebangkitan kopi Arabika Gayo, juga ditandai dengan tumbuhnya Pasar Specialty contohnya King Gayo, Peaberry, Luwak, Long Bery dan Berry-berry yang lain saat ini sudah di eskpor dalam bentuk bubuk, biji roasting dan jumlahnya dalam kapasitas yang kecil tapi mengiurkan untuk keuntungan.

Mahasiswa KSDL Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dan Sekretaris KBQ Baburrayyan ini menilai, kegiatan dan perkembangan ini seperti bola salju ketika bergelinding semakin lama semakin kencang dan semakin besar. Asa kita di akhir 2012 ini walaupun harga kopi anjlok dan produksi yang sedikit bukanlah sebuah malapetaka, tapi ini adalah sebuah tahapan untuk sukses yang harus dilalui, tentu dengan istilah Gayo “Hemat Jimet tengah ara, inget-inget sebelem kona”. Artinya ketika tahun sebelumnya kita diberikan rahmat yang begitu besar  kalau tidak dapat manfaatkan tentu akan sia-sia. Dan berharap badai turunnya harga kopi dan hasil kopi saat ini berlalu di bulan Maret hingga Juni tahun 2013 karena merupakan panen harapan untuk Masyarakat Gayo.

Referensi tentang kopi Arabika Gayo dalam bentuk buku ilmiah juga bermunculan. Tidak hanya dari sisi budidayanya yang sudah ada 5 judul buku. Di tahun 2012 muncul penelitian tentang Kopi Gayo dari sisi budayanya dan akan segera terbit bukunya yang digawangi Jamhuri, Khalisuddin, Win Ruhdi Bathin, Ayuseara Gayonesia, Agung Suryo dan Nab Bhany AS dengan dukungan Kementrian Kebudayaan RI melalui Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Banda Aceh.

Selanjutnya pernyataan Mustawalad, ketua Asosiasi Fair Trade Indonesia (AFTI) menegaskan di tahun 2012 muncul gairah baru yang luar biasa terkait kopi Arabika Gayo. Pemerintah di dua Kabupaten, Aceh Tengah dan Bener Meriah sudah lebih fokus memberikan perhatian, terkhusus di Bener Meriah. Tawaran-tawaran kerjasama dengan pihak luar negeri didominasi kopi. “Tahun 2012 adalah Tahun Kebangkitan Kopi Arabika Gayo. Making Gayo Coffee more than Specialty Coffee,” seru Mustawalad.

Kata sepakat dan penuh semangat juga dilontarkan Ketua Masyarakat Perlindungan Kopi Gayo (MPKG) Mustafa Ali. “Kita bangkit tahun 2012 ini. Kopi Gayo on the way tahun 2015 mendatang. Kopi Gayo menjadi kebutuhan dunia. Hulu dan hilirnya sudah bagus dan harus lebih bagus lagi kedepannya,” ujar Mustafa Ali.

Para penulis berita di Gayo seperti kehilangan ID Card jika tak kerap menulis tentang kopi. Sebagaimana fungsinya, pembaca berita semakin teredukasi seiring makin banyaknya berita tentang kopi Gayo dari segala sisinya. Sisi ekonomi, budidaya dan budayanya. “Menulis tentang kopi Gayo adalah panggilan jiwa saya selaku putra Gayo yang hidup dan besar dengan kopi dan menggantungkan hidup sebagai wartawan,” kata Irwandi dari salah satu media cetak ternama di kota Medan Sumatera Utara.

Bicara kebangkitan Kopi Arabika Gayo tak bisa dilepaskan dengan peran para kuli tinta Win Ruhdi Bathin, Jalimin, Wen Rahman, Khairul Akhyar, Irwandi, Julihan Darussalam, Mahyadi, Jurnalisa, Bahtiar, Darmawan Masri, Zulkarnain, Ria Devitariska, dan lain-lain.

Tentang kopi Gayo dalam kaitannya dengan lingkungan yang belakangan dikenal dengan Kopi Konservasi. Seorang penulis Tanoh Gayo berhasil raih juara pertama se-Aceh dalam lomba menulis tentang lingkungan bertemakan “Sejahtera tanpa merusak” yang digelar oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh. Muhammad Syukri dengan judul “Kopi Konservasi, Mengais Rejeki Dari Bumi Lestari” yang diposting di media online Lintas Gayo menyisihkan sederetan penulis handal di Aceh.

Generasi muda alumni Duta Wisata Aceh Tengah atau Abang Aka Gayo tak mau ketinggalan. Dataran tinggi Gayo sebagai penghasil kopi juga mesti unjuk diri. Untuk pertama kali mereka menggagas ajang Pemilihan Putri Kopi Gayo dengan menseleksi putri-putri Tanoh Gayo yang memiliki inteligensia di bidang perkopian. Apresiasi layak diberikan untuk Abang Aka Takengon, walau putri Kopi Gayo masih gagal dinobatkan sebagai Putri Kopi di level provinsi Aceh.

Dibidang sinematografi, dalam tahun 2012 juga muncul gagasan pembuatan film besar layar lebar. Film dengan sutradara Andhy Pulung yang karyanya seperti King (2009), Obama Anak Menteng (2010), Tanah Air Beta (2010) dan sederetan karya lainnya ini mengambil ide cerita keluarga petani Kopi Arabika Gayo. Dia bersama rekannya Jeremias Nyangoen (penulis skrip) dan kameramen Samuel Uneputty telah melakukan observasi di Gayo.

“Cerita tentang kopi dan kehidupan masyarakat Gayo itu film besar, terlebih digarap oleh anak-anak muda Indonesia kreatif,” ujar sang penyair Ibrahim Kadir menanggapi rencana produksi film tersebut seperti diberitakan Lintas Gayo.

Tahun 2012 adalah Tahun Kebangkitan Kopi juga dicetuskan secara tidak langsung oleh para penyair dan seniman Gayo. Fikar W Eda dan Salman Yoga S beberapa bulan ini telah mengumpulkan puisi-puisi tentang Kopi dan segera akan menerbitkan buku Antologi Puisi “Secangkir Kopi” terbitan oleh The Gayo Institute (TGI).

Ervan Ceh Kul, sang musisi muda Gayo ternama dengan album Muniru juga mengaku mendidih darahnya jika bicara kopi Gayo. Dia telah menggarap sejumlah lagu bertema khusus “Kopi”.

Tahun 2012 adalah Tahun Kebangkitan Kopi Arabika Gayo, data primer dan sekunder tentang Kopi Gayo semakin terungkap, teknologi semakin maju, informasi semakin terbuka. Sematkan kata Gayo jika bicara kopi di ujung paling barat pulau ini. Kopi Gayo ya Kopi Gayo dengan 300 citarasanya. Nikmati citarasa kopi sebenarnya, bukan yang grade lapis kedua dan seterusnya. Cita rasa kopi dunia ada di Gayo.

 —

*Penikmat Kopi Espresso Arabika Gayo, tinggal di Takengon

Sudah pernah dimuat di http://www.lintasgayo.com/