Monday, March 02, 2009

Pertahankan Merek Dagang Kopi Gayo

TAKENGON - Wakil Bupati (Wabup) Aceh Tengah, Drs H Djauhar Ali, meminta masyarakat petani kopi dan para eksportir, untuk mempertahankan merek dagang (brand mark) kopi gayo di pasar dunia.

Permintaan tersebut disampaikan Djauhari saat membuka pertemuan Asosiasi Kopi Spesial (AKSI), Rabu (25/), di Hotel Mahara, Takengon. “Daerah lain banyak yang mencoba menggunakan merek dagang kopi gayo di pasar kopi dunia. Padahal, kopi itu bukan produksi dataran tinggi Gayo,” ungkapnya.

Karena itu, sosialisasi tentang mutu, jenis, dan sistem pengolahan kopi yang baik sebaiknya tidak hanya diketahui oleh peserta pertemuan. Namun juga diketahui oleh seluruh petani kopi di dataran tinggi Gayo, sehingga kualitas kopi gayo dapat dipertahankan.

“Kopi gayo memiliki kualitas yang cukup tinggi (specialti kopi). Jadi hendaknya tidak dirusak oleh oknum tak bertanggungjawab dengan memanfaatkan nama besar kopi gayo,” ujarnya.

Kata Djauhari, berbicara masalah kopi adalah sama dengan membicarakan masayakarat Gayo secara keseluruhan. Sebab lebih dari 80 persen masyarakatnya berprofesi sebagai petani kopi. Atas dasar tersebutlah, dia menilai bahwa pelatihan dan sosialisasi kepada para petani kopi menjadi sangat penting.

“Selama ini, petani kopi hanya mengetahui sebatas penanaman, panen, hingga pemasaran. Sementara teknik pengolahan kopi mulai dari penen hingga menjadi bubuk kopi tidak pernah diketahuinya,” beber Wabup Aceh Tengah ini.

Sementara itu, A Syafaruddin, salah seorang pengurus AKSI, menjelaskan, kehadiran asosiasi yang baru berusia setahun berdiri tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas kopi yang dipasarkan ke luar negeri. Hingga kini, AKSI telah memiliki 58 orang anggota.

Selain meningkatkan mutu kopi, AKSI juga melakukan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) para petani. Pelatihan itu diikuti 24 anggota AKSI, sebagian diantaranya datang dari Jember (Jawa Timur), Lintong, Sidikalang (Sumatera Utara), serta sejumlah daerah lainnya.(min/Serambi)

Segera Tuntaskan Polemik dengan Petani Kopi Gayo

JAKARTA, SELASA - Manajemen PT Genap Mupakat Gayo Specialty Coffee ingin polemik pembayaran premium kepada petani anggota Koperasi Tunas Indah di Kabupaten Bener Meriah, Nanggroe Aceh Darussalam segera selesai. Investor pengolahan dan eksportir asal Belanda itu akan melakukan apa pun untuk memecahkan masalah yang mencuat belakangan ini.

Demikian disampaikan Presiden Direktur PT Genap Mupakat Gayo Specialty Coffee (GMGSC) George Willekes didampingi penasihat hukum GMGSC Ilya Sumono di Jakarta, Selasa (24/2).

"Selama ini kami sudah bekerja sama dengan baik dengan petani kopi dan Tunas Indah di Aceh sejak masa sulit tahun 1997. Kami juga telah mengembangkan merek Gayo Mountain Coffee hingga terkenal di berbagai benua dan kami komitmen untuk melanjutkan," kata Willekes.

Polemik berawal dari klaim Koperasi Tunas Indah, GMGSC belum membayar premium kopi organik sesuai standar the Fairtrade Labelling Organizations International (FLO) untuk penualan tahun 2005-2007 dan kuartal I-III tahun 2008.. Tunas Indah menghitung premium yang belum dibayar mencapai Rp 20,3 miliar. Namun, GMGSC menyatakan sudah membayar seluruh kewajiban periode itu senilai 893.724,69 dollar AS.

"Pembayaran kuartal IV-2008 lebih kurang sebesar 90.000 dollar AS kami tahan atas permintaan FLO. Audit FLO menemukan hal tak biasa dalam laporan keuangan Tunas Indah," jelas Willekes.

Saat dikonfirmasi, Manajer Koperasi Tunas Indah Syafrin membantah. "Kalau memang pembukuan Tunas Indah bermasalah, FLO tak akan setuju kami mencari eksportir bersertifikat Fair Trade baru," tukas Syafrin.

Soal penyelesaian polemik, Bupati Bener Meriah Tagore AB menyatakan, GMGSC harus menyelesaikan kewajiban kepada petani kopi Gayo Bener Meriah. " Kami ingin masalah ini cepat selesai. Kalau tidak, biar diselesaikan lewat jalur hukum," kata Tagore. [Kompas]

GMGSC Klaim Lunasi Premi Petani Kopi Gayo

JAKARTA, SELASA - PT Genap Mupakat Gayo Specialty Coffee atau GMGSC mengklaim telah membayar premi penjualan kopi Gayo senilai Rp 20,3 miliar hak petani anggota Koperasi Tunas Indah di Kabupaten Bener Meriah, Nanggroe Aceh Darussalam. Premium itu untuk trans aksi tahun 2005, 2006, 2007, dan Januari-Oktober 2008.

Presiden Direktur GMGSC George Willekes di Jakarta, Senin (16/2), menjelaskan, sebanyak 90 persen premi sesuai prinsip perdagangan yang adil (Fair Trade) sudah dibayarkan langsung kepada petani anggota Koperasi Tunas Indah. Kekurangan sebesar 10 persen lagi sudah dibayar kepada koperasi dan diteruskan ke petani sebagai bonus.

Persentase premi ini sesuai perjanjian antara GMGSC dan Koperasi Tunas Indah yang diverifikasi dan disahkan oleh FLO tahun 2005 dan 2006.

Petani kopi Gayo organik anggota Koperasi Tunas Indah mendapat sertifikat perdagangan yang adil (Fair Trade) dari Fairtrade Labelling Organizations International (FLO) yang berbasis di Bonn, Jerman. Produk bersertifikat FLO berhak atas insentif ha rga premium untuk menjamin kesinambungan pertanian yang ramah lingkungan.

Willekes menjelaskan, Holland Coffee sudah menguasai 90 persen saham GMGSC dari kesepakatan awal 70 persen. Tambahan 20 persen didapat sampai Perusahaan Daerah Genap Mupakat milik Pe merintah Provinsi NAD (50 persen), Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah (30 persen), dan Koperasi Intan Pase (20 persen), menyediakan lahan 1.500 hektar sesuai perjanjian.

Saat dikonfirmasi, Manajer Koperasi Tunas Indah Syafrin membantah klaim GMGSC. Sampai sekarang belum ada sama sekali pembayaran premium penjualan kopi petani dan utang GMGSC kepada kolektor sebesar Rp 8,5 miliar pun belum juga dibayar. "Kami sedang mencari eksportir baru sekarang," tandas Syafrin, yang sedang berada di Medan.

Bupati Bener Meriah Tagore AB yang dihubungi di Redelong menegaskan, 3.895 petani kopi anggota Koperasi Tunas Indah belum menerima pembayaran premi sedikit pun.

"Koperasi akan mencari eksportir baru untuk menampung kopi petani yang sudah mulai panen," kata Tagore. [Kompas]

3.895 Petani Kopi Gayo Belum Terima Uang Penjualan

JAKARTA, JUMAT — Sedikitnya 3.895 petani kopi Gayo di Kabupaten Bener Meriah, Nanggroe Aceh Darussalam, sampai kini belum menerima uang hasil penjualan kopi mereka melalui Koperasi Tunas Indah ke PT Genap Mupakat Gayo Specialty Coffee. Total hasil penjualan yang belum diterima sejak tahun 2005-2008 mencapai Rp 20 miliar.

Bupati Bener Meriah Tagore AB mengungkapkan hal itu di Jakarta, Jumat (6/2). Tagore menyesalkan sikap manajemen PT Genap Mupakat Gayo Specialty yang wanprestasi terhadap ribuan petani dari 40 desa di Bener Meriah.

PT Genap Mupakat Gayo Specialty Coffee (GMGSC) dibentuk Perusahaan Daerah (PD) Genap Mupakat, milik Pemerintah Provinsi NAD, dan Holland Coffee, milik investor Belanda, pada 15 Oktober 1999. Perusahaan baru tersebut dikendalikan oleh Holland Coffee yang menguasai 70 persen saham.

Perusahaan ini kemudian bekerja sama dengan Koperasi Tunas Indah yang beranggotakan 3.895 petani kopi Gayo di Bener Meriah. Koperasi membeli kopi organik petani melalui pengepul (kolektor) lalu menyetornya ke GMGSC untuk mengolah dan mengekspornya ke Eropa dan Amerika Serikat.

"Tindakan perusahaan asing ini sungguh tidak etis. Mereka telah mengeksploitasi petani yang bersusah payah merawat kebun dan memanen, tetapi tak kunjung bisa menikmati hasil jerih payahnya. Padahal perusahaan asing ini menerima pembayaran begitu kopi dimuat ke kapal di (Pelabuhan) Belawan, Medan," kata Tagore.

Berbagai upaya persuasif terus dilakukan. Namun, sampai saat ini belum tampak itikad baik dari manajemen GMGSC. Hasil pertemuan pengurus Koperasi Tunas Indah dengan manajemen PT Genap Mupakat Gayo Specialty di Medan pada 24 Juli 2008 pun sampai kini tak kunjung berjalan.

Manajer Koperasi Tunas Indah Syafrin yang dihubungi di Takengon, Aceh Tengah, mengatakan, manajemen GMGSC menolak membayar kopi yang disetor tahun 2005 dan 2006 dengan dalih sudah tutup buku. Pembayaran tahun 2007 dan 2008 pun kemudian tersendat sehingga seluruh utang GMGSC kepada Tunas Indah mencapai Rp 20 miliar.

Padahal, Pasal 2 Ayat 1 perjanjian yang dibuat dalam pertemuan di Medan tersebut, manajemen GMGSC berjanji membayar Rp 4 miliar paling lambat dalam 14 hari kalender. Selanjutnya pembayaran dicicil Rp 1 miliar per minggu.

"Tetapi sampai sekarang janji itu belum dilaksanakan sepenuhnya. Premium kepada petani dan komisi kolektor pun belum dibayar," jelas Syafrin.

Saat dikonfirmasi, Manajer GMGSC Amin mengakui perihal utang tersebut. Menurut Amin, selama ini mereka mengekspor ke Holland Coffee dan belum pernah menerima pembayaran kontan. "Setelah (masalah ini) mulai ribut, baru dibayar. Untuk (pembayaran) tahun 2005 dan 2006 sudah lunas, baru pada 2007 dan 2008 mulai utang (kepada koperasi)," jelas Amin. [Kompas]

Monday, January 19, 2009

KOPI: KOMODITAS UNGGULAN DARI MASA KOLONIAL DI DATARAN TINGGI GAYO KABUPATEN ACEH TENGAH ( DAN BENER MERIAH)

Deni Sutrisna

Balai Arkeologi Medan

Kata kunci:
kopi, Gayo, tanam paksa

I. Pendahuluan

Kopi yang saat ini sudah dikenal luas sebagai minuman dengan cita rasa khas dan dipercaya mempunyai manfaat besar bagi peminumnya, telah dikenal sejak abad-abad sebelum Masehi. Menurut sumber tertulis kopi berasal dari daerah jazirah Arab. Keterkaitan dunia Arab dengan kopi juga dibuktikan dengan adanya kenyataan bahwa istilah “kopi” berasal dari bahasa Arab, quahweh. Dari dunia Arab, istilah tadi diadopsi oleh negara-negara lainnya melalui perubahan lafal menjadi cafe (Perancis), caffe (Italia), kaffe (Jerman), koffie (Belanda), coffee (Inggris), dan coffea (Latin). Namun diantara pakar masih belum ada persesuaian pendapat tentang daerah asal kopi. Berbagai daerah telah diindentifikasikan sebagai daerah dan habitat asal tanaman kopi oleh pakar dari berbagai keahlian.

Linnaeus seorang botanikus dalam sebuah tulisannya yang terbit tahun 1753 berpendapat bahwa habitat kopi terletak diantara daerah subur Saudi Arabia yang disebut Arabia Felix, yang kemudian dikenal dengan nama Mekkah. Karenanya dia memberi nama tanaman tadi Coffea arabica. Akan tetapi di dalam tulisannya kemudian di tahun 1763 dia menyebutkan daerah asal kopi sebagai “Arabia” dan “Ethiopia”, meskipun dia lebih memberi titik tekan pada Arabia, dan hanya menyebutkan Ethiopia dalam kaitannya dengan Arabia.

Pendapat lain dari Lankester (1832) mengatakan bahwa Coffea arabica dibawa dari Persia ke Saudi Arabia. Sedangkan kajian historis yang dilakukan oleh Southard (1918 membawa pada kesimpulan bahwa pada abad XI bangsa Arablah yang membawa biji-bijian kopi dari suatu daerah di Ethiopia yang disebut Harar. De Condolle, sebagaimana dilaporkan oleh Fauchere (1927) berpendapat bahwa kopi merupakan tanaman liar yang tumbuh di Abyssiria, Ethiopia, Sudan, Mozambique dan Guinea.

Berdasarkan berbagai pendapat di atas, nampaknya sebagian besar para ahli mengidentifikasikan Ethiopia sebagai daerah asal Coffea arabica. Jenis kopi yang kemudian diketemukan di pegunungan Ruwenzeri (Uganda), sekitar 450-600 km di selatan habitat asal Coffea arabica, ternyata dari spesies yang meskipun dekat, akan tetapi berbeda.

Adapun penyebaran tumbuhan kopi ke Indonesia dibawa seorang berkebangsaan Belanda pada abad ke-17 yang mendapatkan biji Arabika mocca dari Arabia ke Batavia (Jakarta). Kopi arabika itu pertama-tama ditanam dan dikembangkan di sebuah tempat bagian timur Jatinegara, Jakarta yang menggunakan tanah partikelir Kesawung yang kini lebih dikenal Pondok Kopi. Penyebaran selanjutnya dari tanaman kopi tersebut sampai juga ke kawasan dataran tinggi Gayo, Kabupaten Aceh Tengah. Dari masa kolonial Belanda hingga sekarang Kopi Gayo khususnya telah menjadi mata pencaharian pokok mayoritas masyarakat Gayo bahkan telah menjadi satu-satunya sentra tanaman kopi kualitas ekspor di daerah Aceh Tengah. Selain itu bukti arkeologis berupa sisa pabrik pengeringan kopi masa kolonial Belanda di Desa Wih Porak, Kecamatan Silih Nara, Aceh Tengah telah memberikan kejelasan bahwa kopi di masa lalu pernah menjadi komoditas penting perekonomian di sana. Untuk lebih jelas mengenai sejarah dan sisa pabrik pengeringan kopi di Tanah Gayo itu, berikut uraiannya.

II. Kopi Indonesia pada masa kolonial

Tanaman kopi (Coffea spp) adalah spesies tanaman berbentuk pohon yang termasuk dalam famili rubiaceae dan genus coffea. Tanaman ini tumbuhnya tegak, bercabang dan bila dibiarkan tumbuh dapat mencapai tinggi 12 m. Daunnya bulat telur dengan ujung agak meruncing, daun tumbuh berhadapan dengan batang, cabang dan ranting-ranting. Tanaman kopi umumnya akan mulai berbunga setelah berumur sekitar 2 tahun. Salah satu jenis kopi yaitu kopi arabika termasuk varietas unggul yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  • Ditanam di daerah dengan ketinggian antara 700-1700 dpl dan suhu 16º-20º C.
  • Di tanam di daerah yang iklimnya kering selama 3 bulan/tahun secara berturut-turut yang sesekali mendapat hujan kiriman.
  • Umumnya peka terhadap serangan penyakit HV (cendawan Hemileia vastatrix), terutama bila ditanam di dataran rendah atau ketinggian kurang dari 500 dpl.
  • Rata-rata produksi sedang, harga dan kualitas relatif lebih tinggi dari kopi lainnya.
  • Umumnya berbuah sekali dalam setahun.

Komoditas kopi ini telah memainkan peranan penting dalam sejarah perekonomian Indonesia semenjak periode awal penetrasi kapitalisme internasional ke dalam masyarakat pra-kapitalis Indonesia. Semenjak diperkenalkannya kopi jenis Arabika oleh kaum kapitalis Belanda ke tanah Jawa (Batavia), tanaman kopi ini mengalami perkembangan yang amat pesat. Jenis kopi tersebut kemudian menyebar ke berbagai daerah di Jawa Barat, seperti Bogor, Sukabumi, Banten, dan Priangan melalui sistem tanam paksa (cultur stelsel) yang diperkenalkan Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1830. Melalui sistem tanam paksa ini rakyat diwajibkan untuk menanam komoditi ekspor milik pemerintah, termasuk kopi pada seperlima luas tanah yang digarap, atau bekerja selama 66 hari di perkebunan-perkebunan milik pemerintah. Dari sistem tanam paksa ini telah menghasilkan komoditi kopi yang cukup meyakinkan. Di antara tahun 1830-1834 produksi kopi arabika di Jawa mencapai 26.600 ton, selang 30 tahun kemudian produksi kopi tadi meningkat menjadi 79.600 ton (Creutzberg, 1975 dalam Retnandari & Moeljarto,1991:15).

Berkembangnya tanaman kopi ini di Jawa khususnya dan daerah-daerah lain pada umumnya karena didukung oleh kondisi tanah yang subur dan iklim yang cocok serta tersedianya tenaga kerja yang cukup, apalagi dengan diterapkannya sistem tanam paksa. Dengan dipegangnya monopoli perdagangan kopi di tangan Pemerintah Kolonial Belanda, telah memungkinkan eksploitasi dan pentransferan nilai lebih (surplus values) yang cukup besar ke Negeri Belanda, yang ikut menopang pertumbuhan ekonominya secara tajam. Dalam pada itu diundangkannya Agrarische Wet (UU Agraria) pada tahun 1870 yang memberi peluang bagi kaum kapitalis untuk menyewa tanah dalam jangka panjang telah mendorong tumbuhnya sejumlah koffie onderneming terutama sekali di Jawa Timur. Penanaman kopi telah memberikan kepada pemerintah kolonial penghasilan yang besar, sebelum penanaman oleh negara lainnya melebihi kopi sesudah tahun 1870-an (Bachri, 2005:125).

Berkembang pesatnya tanaman kopi sangat menguntungkan sehingga pada akhirnya penanaman kopi meluas, diantaranya hampir ke seluruh karesidenan Jawa. Kesemuanya telah membawa produksi kopi ke titik puncaknya di abad ke XIX yang pada tahun 1880-1884 mencapai 94.400 ton (Creutzberg,1975 dalam Retnandari & Moeljarto,1991:15). Kopi memainkan peranan yang jauh lebih penting dibandingkan dengan gula tebu. Kalau nilai ekspor kopi rata-rata antara tahun 1865-1870 mencapai 25.965.000 gulden, maka dalam periode yang sama nilai ekspor rata-rata gula tebu hanyalah mencapai 8.416.000 gulden (Handelsstatistiek Java 1823-75, Tabel 10-11, p.39-41).

Namun berjangkitnya penyakit tanaman kopi, pes dan teknik budi daya tanaman kopi yang tidak memadai, telah membawa penurunan produksi kopi secara drastis, yang diantara tahun 1910-1914 mencapai titik terendahnya sebesar 35.400 ton. Peristiwa tragis tadi justru membuka frontiers baru dalam budi daya tanaman kopi dalam wujud diperkenalkannya varietas kopi Robusta yang lebih tahan penyakit dan mempunyai produktivitas yang lebih tinggi. Varietas kopi Robusta ini segera menyebar ke daerah lain, khususnya Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung dan Aceh/NAD. Varietas kopi Arabika yang lebih sulit pembudidayaannya tinggal menempati lahan-lahan pertanian sempit pada ketinggian antara 900 – 1.000 meter di atas permukaan air laut, dan merupakan enclave di daerah Aceh (Takengon), Sumatera Utara (Sidikalang, Lintongnihuta, dan Mandailing), Jawa Timur (Besuki), dan Sulawesi Selatan (Toraja). Produksi puncak tanaman kopi dalam era sebelum Perang Dunia II terjadi di antara tahun 1935-1940 dengan produksi sebesar 124.600 ton. Pertumbuhan kopi varietas Robusta ini segera melampaui jenis Arabika sehingga pada saat ini mewujudkan 90 persen dari produksi yang ada.

Masa-masa Perang Dunia II ketika Indonesia diduduki Jepang dan masa pasca Perang Dunia II pada saat Revolusi Kemerdekaan merupakan masa-masa suram bagi produksi kopi. Banyak koffie onderrneming yang hancur sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari peperangan tadi serta adanya kecenderungan petani beralih ke tanaman produksi untuk subsistensi telah mengakibatkan turunnya produksi kopi secara drastis yang pada tahun 1950-an hanya mencapai 12-13% dari puncak produksi sebelum perang. Hal ini mengakibatkan hilangnya pasaran kopi Indonesia di pasaran internasional. Apa yang dikemukakan di atas tidak dapat dilepaskan dari moralitas petani, yang menekankan pada ekonomi survival dan wawasan mendahulukan keselamatan (safety-first philosophy). Kalau menurunnya harga kopi di pasaran internasional cenderung mendapatkan reaksi dari perkebunan kopi berupa menurunkan jumlah kopi yang dipetik dan mengurangi lahan usaha, maka reaksi petani kopi terhadap penurunan harga kopi tadi justru berwujud meningkatkan jumlah kopi yang dipetik untuk dapat mempertahankan derajat kehidupan subsistensi atau survival tadi.

III. Kopi Gayo dalam kajian sejarah dan sisa kepurbakalaannya

Kehadiran kekuasaan Belanda di Tanah Gayo tahun 1904 serta merta diikuti pula dengan hadirnya pendatang-pendatang yang menetap di sini. Pada masa itu wilayah Aceh Tengah dijadikan onder afdeeling Nordkus Atjeh dengan Sigli sebagai ibukotanya. Di sisi lain kehadiran Belanda juga telah memberi penghidupan baru dengan membuka lahan perkebunan, salah satunya kebun kopi di Tanah Gayo (di ketinggian 1.000 - 1.700 m di atas permukaan laut). Kondisi ini berbeda dengan lokasi tanam di Sumatera Timur, kopi ditanam di areal bekas tanaman tembakau Deli yang kurang baik (Sinar, tt:316). Tanaman Tembakau Deli dikatakan kurang baik karena masa depan tembakau Deli waktu itu masih belum pasti.

Sebelum kopi hadir di dataran tinggi Gayo tanaman teh dan lada telah lebih dulu diperkenalkan di sana. Menurut ahli pertanian Belanda JH Heyl dalam bukunya berjudul “Pepercultuur in Atjeh” menerangkan asalnya tanaman lada dibawa dari Mandagaskar (Afrika Timur) dalam abad VII atau VIII ke tanah Aceh (Zainuddin, 1961:264). Sayangnya kedua tanaman itu kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah kolonial. Pada akhirnya Belanda kemudian memperkenalkan dan membuka perkebunan kopi pertama seluas 100 ha pada tahun 1918 di kawasan Belang Gele, yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Bebesen, Aceh Tengah. Selain dibukanya lahan perkebunan, di tahun 1920 muncul kampung baru masyarakat Gayo di sekitar perkebunan kopi Belanda itu, dan pada tahun 1925-1930 mereka membuka sejarah baru dengan membuka kebun-kebun kopi rakyat. Pembukaan itu didasari oleh pengetahuan yang diperoleh petani karena bertetangga dengan perkebunan Belanda itu. Pada akhir tahun 1930 empat buah kampung telah berdiri di sekitar kebun Belanda di Belang Gele itu, yaitu Kampung Belang Gele, Atu Gajah, Paya Sawi, dan Pantan Peseng (Melalatoa, 2003:51).

Salah satu bukti kepurbakalaan yang berkaitan dengan komoditas kopi ini adalah temuan berupa sisa pabrik pengeringan kopi (biji kopi) di dekat Mesjid Baitul Makmur, Desa Wih Porak, Kecamatan Silih Nara, Kabupaten Bener Meriah (dulu Aceh Tengah), Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Susilowati,2007). Secara astronomis terletak pada 040 36.640′ LU dan 0960 45.660′ BT (47 N 0251594 UTM 0510018). Bekas pabrik pengeringan kopi tersebut menempati lahan berukuran 110 m x 60 m, sebagian kini telah menjadi lahan Pesantren Terpadu Darul Uini. Pada lahan tersebut terdapat sisa bangunan berupa sisa pondasi, sisa tembok bangunan, bekas tempat kincir air, dan beberapa kolam tempat proses pengeringan kopi.

Tempat kincir air ditandai dengan 3 buah tembok berketebalan 15 cm, tinggi sekitar 2 m dan di bagian permukaan atasnya dijumpai masing-masing 2 buah baut besi yang diperkirakan sebagai tempat bertumpunya kincir angin. Di dekat bekas tempat kincir air tersebut dijumpai dua buah kolam tempat pemrosesan kopi, salah satunya berukuran panjang sekitar 2,65 m, lebar, 2,33 m dan tinggi sekitar 1,25 m. Pada bagian selatan terdapat saluran air yang menuju ke kolam di bagian selatan. Selain itu juga terdapat bekas tembok kolam pengering gabah kopi di bagian paling selatan setelah tembok saluran air. Pada bekas tembok kolam tersebut masih terdapat lubang saluran air di bagian utara.

Setelah masa kemerdekaan pabrik tersebut pernah terlantar, selanjutnya sekitar tahun 1960-an hingga tahun 1979 pabrik tersebut pernah dikelola oleh PNP I, kemudian kepemilikannya berpindah ke PT Ala Silo dan terakhir lahannya kini dimiliki oleh Dinas Perkebunan Pemerintah Daerah Kab. Aceh Tengah.

Sekitar 40 m arah baratdaya dari lokasi pabrik berada, dijumpai rumah-rumah lama peninggalan masa kolonial, dan sekitar 85 m arah barat laut pabrik terdapat bekas bangunan rumah pejabat Belanda yang kondisinya kini sudah rata dengan tanah. Di bagian dalam bekas rumah tersebut terdapat bunker. Menurut informasi dahulu pernah digunakan untuk tempat persembunyian Mr. Syafrudin Prawiranegara (Pimpinan Sementara Pemerintah Darurat RI ketika terjadi Agresi Militer Belanda II). Rumah tersebut dibongkar pada tahun 1966 dan dijadikan sebagai rumah pekerja PNP I. Objek lainnya sekitar 1,2 km arah timurlaut pabrik, masuk dalam wilayah Desa Wih Pesam terdapat kolam pemandian air panas yang sudah ada sejak masa kolonial Belanda.

Pada paruh kedua tahun 1950-an setelah lepas dari gangguan keamanan akibat pergolakan DI/TII yang menyebabkan keadaan ekonomi rakyat morat-marit, orang Gayo mulai berkebun kopi. Pada periode itu hutan-hutan dibabat untuk dijadikan kebun kopi. Pada tahun 1972 Kabupaten Aceh Tengah tercatat sebagai penghasil kopi terbesar dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Luas areal kebun kopi di Kabupaten Aceh Tengah pada tahun 1972 adalah 19.962 ha.

Berikut tabel luas areal perkebunan kopi rakyat di sana tahun 1970-1975 per kecamatan:

No

Kecamatan

1970

(ha)

1971

(ha)

1972

(ha)

1973

(ha)

1974

(ha)

1975

(ha)

1

Kota Takengon

125

129

133

137

145

650

2

Bebesan

4.500

4.635

4.774

4.918

5.066

5.218

3

Bukit

4.000

4.120

4.244

4.372

4.503

4.638

4

Bandar

4.750

4.893

5.040

5.191

5.347

5.507

5

Silih Nara

3.500

3.605

3.713

3.825

3.940

4.058

6

Timang Gajah

1.500

1.595

2.058

2.610

2.688

2.768

7

Linge

-

-

-

-

-

-

Total

18.375

18.977

19.962

21.053

21.689

22.839

(Sumber: Nasir,1976:3 dalam Melalatoa,2003:51)

Perkebunan kopi bagi warga Kabupaten Bener Meriah (pemekaran dari Kab. Aceh Tengah) dan Kabupaten Aceh Tengah merupakan urat nadi perekonomian yang paling menonjol, selain perdagangan sayur mayur seperti kol/kubis, wortel, cabai, dan cokelat. Sebagai komoditas ekspor, 27.953 keluarga di Aceh Tengah menggantungkan hidup mereka pada budi daya kopi dengan luas areal 46.392 ha, dan dengan rata-rata 720,7 kg/ha/tahun (BPS Kab. Aceh Tengah 2005:144-145). Konflik yang berkepanjangan menyebabkan sedikitnya 6.440 ha lahan kopi telantar dan 5.037 keluarga kehilangan lapangan kerja.

Setelah konflik mereda dan ditandatanganinya perjanjian damai RI-GAM pada akhir tahun 2005, para petani kopi kini mulai berani bercocok tanam di kebun kopi yang terletak jauh di lereng gunung, tidak sekedar menanam kopi di pekarangan rumah. Harga jual kopi pun -meski dipengaruhi harga kopi dunia- relatif stabil dan terus menguat karena jalur perdagangan antara Takengon-Bireun-Lhoksemauwe-Medan dapat dilalui kendaraan angkut tanpa resiko besar.

IV. Penutup

Komoditas kopi merupakan sokoguru perkebunan di daerah Tanah Gayo, Kabupaten Aceh Tengah sejak masa kolonial Belanda. Kopi bukan sekedar dikonsumsi di lokal Aceh, tetapi kini sudah menjadi komoditas ekspor. Sejak dibukanya perkebunan kopi, di tanah Gayo muncul beberapa perkampungan baru. Munculnya perkampungan-perkampungan baru tersebut merupakan salah satu upaya Pemerintah Kolonial Belanda untuk menjadikan tanah gayo sebagai lumbung kopi karena kualitas jenis kopi (kopi arabika) yang ditanam memiliki harga yang cukup tinggi di pasaran internasional. Dalam beberapa dekade berikutnya produksi kopi mengalami pasang surut, puncaknya adalah ketika terjadi konflik bersenjata antara Pemerintah RI dan GAM. Banyak perkebunan kopi terbengkalai bahkan ditinggalkan, hingga kemudian tercapai nota kesepahaman bersama pada akhir tahun 2005, aktivitas perkebunan kopi mulai bangkit kembali dan kini telah menjadi tulang punggung perekonomian di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.

Kepustakaan

Bachri, Saiful, 2005. Sejarah Perekonomian. Surakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan UNS dan UNS Press

BPS Aceh Tengah, 2005. Aceh Tengah Dalam Angka 2005. Takengon: BPS Kab. Aceh Tengah dan Bappeda Kab. Aceh Tengah

Hurgronje, C. Snouck, 1996. Gayo, Masyarakat dan Kebudayaannya Awal Abad ke-20, terjemahan oleh Hatta Hasan Aman Asnah. Jakarta: Balai Pustaka

Kartodirdjo, Sartono, 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium Sampai Imperium Jilid I. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Marsden, William, 1999. Sejarah Sumatra, terjemahan oleh A.S Nasution dan Mahyuddin Mendim. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Melalatoa, M.Junus, 2003. Gayo, Etnografi Budaya Malu. Jakarta: Yayasan Budaya Tradisional dan Kantor kementerian dan Pariwisata RI

Nasir, 1977. Pola Perdagangan Kopi Rakyat: Kasus Studi di Desa Ratawali dan Bukit Menjangan Kabupaten Aceh Tengah. Banda Aceh: Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Aceh.

Retnandari dan Moeljarto Tjokrowinoto,1991. Kopi, Kajian Sosial-Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media

Sinar, Tengku Luckman, tt. Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur. Medan: tp

Susilowati, Nenggih, 2007. LPA, Penelitian Arkeologi di Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Medan: Balai Arkeologi Medan (belum diterbitkan).

Zainuddin, H.M, 1961. Tarich Atjeh dan Nusantara, Jilid I. Medan: Pustaka Iskandar Muda

Sumber: Balai Arkeologi Medan.

Saturday, January 03, 2009

Di Tengah Krisis, Pasar Kopi Gayo Masih Cerah

BANDA ACEH, RABU — Pasaran kopi Arabika dari dataran tinggi Gayo, Kabupaten Aceh Tengah, dan Bener Meriah tahun depan masih cukup cerah karena harganya semakin membaik meski ekonomi dunia dilanda krisis global.

Ketua Forum Kopi Aceh (FKA) Mustafa Ali saat dihubungi di Takengon, Rabu (31/12), menyatakan, permintaan biji kopi sudah mulai membaik sehingga prospek pemasarannya pada tahun 2009 akan semakin bagus.

Ia menyatakan, harga kopi di Aceh Tengah dan Bener Meriah bergerak naik mendekati normal setelah sebelumnya sempat turun akibat berkurangnya permintaan luar negeri.

Harga biji kopi gabah (kualitas ekspor) di tingkat petani saat ini Rp 13.000 hingga Rp 14.000 per kg, sedangkan sebelumnya sempat turun Rp 9.000 per kg. "Naiknya harga kopi tersebut bersamaan dengan meningkatnya permintaan, termasuk dari luar negeri," katanya.

Mustafa menyatakan, kopi Arabika merupakan komoditi andalan masyarakat di daerah yang berhawa dingin itu karena, hampir sebagian besar, kopi Arabika dipasarkan ke luar negeri.

Kopi Arabika merupakan penyumbang terbesar ekspor non migas, khususnya komoditi perkebunan.

Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UKM Provinsi NAD, realisasi nilai ekspor kopi Arabika hingga periode Januari-September 2008 mencapai 21,255 juta dollar Amerika Serikat (5,815 ribu ton) atau meningkat 17,66 persen dibandingkan tahun 2007 yang hanya 18,890 juta dollar AS (6,038 ribu ton).

Kasie Perdagangan Dalam dan Luar Negeri Disperindagkop dan UKM NAD Netty Muharni menyebutkan, pangsa pasar terbesar komoditi kopi Arabika adalah Amerika Serikat. "Oleh karenanya, pada saat krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat, para eksportir mulai lesu karena ekspor terhenti," katanya.

Amerika Serikat merupakan negara paling besar yang mengimpor kopi Aceh hingga September 2008, yakni mencapai 14,946 juta dollar AS (4,129 ribu ton) atau 70,30 persen dari total ekspor komoditi tersebut.

Kemudian, negara pengimpor lainnya Kanada dengan nilai 1,742 juta dollar (434,7 ton), Meksiko 1,164 juta dollar (288 ton), Australia 130,8 ribu dollar (37,2 ton), dan Selandia Baru senilai 126,171 ribu dollar (36 ton).

Selain itu, negera tujuan ekspor kopi Aceh juga ke Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), di antaranya Inggris, Belgia, Jerman, Norwegia, Swedia, dan Auburn. Negara pengimpor terbesar adaah Jerman dengan nilai 916.775 dollar (291,96 ton, disusul Auburn 694.449 dollar (180 ton), Swedia 430.021 dollar (108 ton), sedangkan negara lainnya di bawah 300.000 dollar.

Netty menyatakan, bila ditinjau dari pangsa pasar, seharusnya eksportir Aceh tidak hanya melihat Amerika Serikat, tetapi bagaimana pasar Eropa diperluas, baik negara tujuan maupun volume ekspornya.

"Dengan demikian, pangsa pasar kopi Aceh tidak hanya tergantung pada Amerika Serikat saja sehingga, apabila terjadi krisis ekonomi seperti sekarang ini, dampaknya tidak terlalu besar," katanya (ant/kompas/kopigayo)

Daerah Penghasil Kopi : Kabupaten Bener Meriah

Profile Kabupaten Bener Meriah

Kabupaten Bener Meriah merupakan Kabupaten termuda dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Tengah, Berdasarkan undang- undang No. 41 tahun 2003 tanggal 18 Desember 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bener Meriah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri tanggal 7 Januari 2004 yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Tengah, dengan batas-batas :

-Sebelah Utara dengan Kabupaten Aceh Bireuen.
-Sebelah Selatan dengan Kabupaten Aceh Tengah.
-Sebelah Timur dengan Kabupaten Aceh Timur.
-Sebelah Barat dengan Kabupaten Aceh Tengah

Berdasarkan wilayah administrasi Pemerintahan Kabupaten Bener Meriah terdiri dari 7 kecamatan yaitu kecamatan Bukit, sebagai kecamatan yang paling tua dengan ibu kota Redelong, yang saat ini di tabalkan menjadi ibu kota Kabupaten Bener Meriah. Luas wilayah 1.454,09 Km, yang terdiri dari 7 Kecamatan, 225 desa (113 desa defenitif, 112 desa non defenitif) 10 kemukiman dengan luas dan jumlah penduduk :

1.Kecamatan Bukit, luas 121.41 Km2 (20.625 Jiwa).
2.Kecamatan Bandar, luas 293,43 Km2 (26.113 jiwa).
3.Kecamatan Timang Gajah, luas 158,51 Km2 (23.126 jiwa).
4.Kecamatan Syaih Utama, luas 560,00 Km2 (2.463 jiwa).
5.Kecamatan Wih Pesam, luas 48.14 Km2 (17,099 jiwa).
6.Kecamatan Permata, luas 132,59 (12.802 jiwa).
7.Kecamatan Pintu Rime Gayo, luas 140,01 Km2 (9.355 jiwa).

Kabupaten Bener Meriah menyimpan potensi luar biasa baik itu dari segi sumber daya manusia dan sumber daya alam seperti pariwisata, pertanian pertambangan dan lain-lain, namun sangat disayangkan keberadaan Kabaputen ini dengan semua potensinya belum banyak di kenal orang sehingga seakan Kabupaten ini tertutup dari pengembangan investasi yang sebenarnya apabila digalakan akan meningkatkan tarap pendapatan perkapita masyarakatnya dan pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kabupaten ini.

Komposisi Penggunaan Lahan

Luas Kabupaten Bener Meriah mencapai 1.454.09 Km2, dengan komposisi penggunaan lahan sebagai berikut :
Sawah : 21.234.00 Ha
Pekarangan/bangunan : 3.172,80 Ha
Kebun/ladang : 50.384 Ha
Hutan Lindung : 21.604,78 Ha
Hutan Produksi : 36.447.00 Ha

Kabupaten Bener Meriah ditinjau dari letak geografis berada pada posisi 40.33,50 - 40.54.50 Lintang Utara 960,4075 - 970,1750 Bujur Timur dengan ketinggian rata-rata 1.000 s/d 2.500 m diatas permukaan laut, suhu rata-rata antara 20 derajat celcius. Beriklim tropis dengan dua musim kemarau pada bulan Maret s/d Agustus dan musim penghujan dari bulan September s/d Februari.

Alam Kabupaten Bener Meriah di kategorikan sangat subur dengan jenis tanah podjolik yang sangat potensial untuk pengembangan tanaman pertanian. Temperatur di Kabupaten ini dibagi atas dua kategori yakni 200C untuk kecamatan Bukit, Permata, Bandar, Timang Gajah. Sedangkan untuk kecamatan Pintu Rime Gayo dan Syiah Utama, temperatur rata-ratanya adalah 300C, di kedua kecamatan ini cocok untuk pengembangan komoditi tanaman keras seperti Coklat, Kelapa Sawit dan Karet.

Lahan Pondok Produktif Di Bener Meriah

Kabupaten Bener Meriah ditinjau dari zona wilayahnya dan dibagi atas dua zona dengan kesuburan tanah yang merata hampir disetiap kecamatan. Padzolik adalah jenis tanah yang mendominasi kawasan Bener Meriah, sehingga sangat cocok untuk pengembangan segala jenis tanaman baik itu tanaman holticultura seperti wortel, tomat, cabe, jagung, kol dan lain-lain serta tanaman keras seperti kopi, kelapa sawit, karet, coklat dan teh.

Penduduk Kabupaten Bener Meriah menurut sensus penduduk tahun 2005 berjumlah lebih kurang 5.000 jiwa. Mayoritas penduduknya adalah suku Gayo disamping suku lainnya seperti Aceh, Jawa, Padang, Sunda dan lain-lain. Dengan ketinggian rata-rata 1.000 s/d 2.500 m diatas permukaan laut dengan jenis tanah yang sangat cocok untuk pengembangan tanaman kopi, menjadikan Kabupaten ini terkenal sebagai penghasil kopi terbesar di Sumatera bahkan di Indonesia. Selain penghasil kopi terbesar juga sebagai penghasil komoditi holtikultura seperti : tomat, cabe, wortel dan lain-lain yang telah mendapat pasar baik domestik maupun regional.

Kopi Gayo Arabika asal Kabupaten ini sudah lama dikenal oleh kalangan pengusaha kopi baik itu tingkat Regional, Nasional dan Manca Negara. Sehingga importir dari dalam dan luar negeri secara berkala sering berkunjung ke Kabupaten ini. Di samping kopi arabika, robusta juga telah mempunyai nama yang cukup baik terutama di kalangan pedagang lokal. Jenis kopi ini biasanya di proses untuk di jadikan kopi bubuk dengan aroma dan rasa yang khas.

Di Kabupaten ini telah ada dua perusahaan kopi luar negeri yang menanamkan modalnya, seperti Holland Coffee Bv. perusahaan kopi dari negeri Belanda, PT. Indocafco perusahaan kopi dari Swiss Amerika serikat dan sementara ini perusahaan kopi Aceh Coffee Company dari New Zealand sedang menjajaki untuk pengembangan perusahaannya di Kabupaten ini.

Selain perusahaan kopi luar negeri tersebut, di Bener Meriah juga terdapat Perusahaan Daerah Genap Mupakat, saat ini PD. Geunap Mupakat memproses biji kopi Arabika untuk menjadi komoditi eksport dengan kualitas terjamin, yang mampu memenuhi pasar Eropa, Amerika dan Jepang. (Aped-Project/kopigayo)

Expor Kopi Arabica “Gayo Supreme” ke Dunia

Permintaan untuk kwalitas yang tinggi dari Kopi Arabica yang telah diexpor dari “Tanah Tinggi Gayo”- Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah – telah meningkat sangat besar melebihi tahun lalu. Fakta yang ada sehubungan dengan adanya kerjasama antara Koperasi Baitul Qiradh Baburrayyan (KBQB) dengan perkumpulan bisnis bersama NCBA (National Cooperative Business Association) dari USA dalam Proyek Pemgembangan bantuan USAID.

Koperasi KBQB yang terdaftar di tahun 2002, tetapi sebagian besar tidak dapat mengembangkannya dalam tahun-tahun terjadinya konflik, walaupun sesudah perjanjian damai ditandatangani di bulan Agustus 2005, Badan Pengurus mengambil langkah-langkah untuk tidak hanya dengan cepat memperluas keanggotaannya, tetapi juga untuk mengembalikan reputasi dari produksi kopi di dataran tinggi Gayo untuk daerah yang cocok sebagai salah satu kopi yang paling dicari di Dunia – “Gayo Supreme”.

Sejak resminya perkumpulan ini dengan NCBA, KBQB telah menambah anggota menjadi sekitar 6.800 petani, seluruhnya telah disahkan secara internasional sebagai produser Organik. KBQB sekarang juga terdaftar “Perferred Supplier” (leveransir lebih disukai) oleh perusahaan Starbucks Coffee Company di USA, yang lagi pula baru-baru ini telah disahkan secara resmi dengan organisasi internasional Fairtrade (FLO).

Semua pengakuan-pengakuan ini membantu pemasaran produknya, dengan tidak hanya meningkatan keuntungan untuk anggota keluarga petani tetapi juga kedudukannya sebagai sebuah jaminan untuk pembeli bahwa kerjasama yang memiliki suasana/ lingkungan yang positif dan menyenangkan karyawan-karyawan dalam standar yang ditetapkan oleh ILO. Menjelang akhir Mei tahun ini, KBQB mengexpor semua produknya, dan totalnya mencapai 612 ton (35 kontainer) dimutu Kelas I Kopi Gayo Arabica dan selanjutnya 11 kontainer dimutu Kelas II, semua pembeli di USA dan Australia.

KBQB sekarang memiliki fasilitas pengolahan pengeringan di desa Wih Nareh, daerah pinggiran dari Kota Takengon, dengan kapasitas terakhir 300 ton sehari jika diperlukan. Selama waktu musim panen kopi, Koperasi ada karyawan sekitar 500 orang, untuk melaksanakan berbagai proses dari pengeringan, mengoperasikan mesin-mesin, penyortiran biji hijau dan menyokong bagian Administrasi yang diperlukan. Berhubung tidak adanya fasilitas pelabuhan export yang bisa menyediakan kontainer di pesisir Aceh Utara dan Timur maka semua kopi diexpor melalui pelabuhan Belawan/Medan.
Kopi Arabica “Gayo Supreme” yang diexpor produksi dari KBQB mempunyai karakteristik cangkir yang berisi (body) sedang, dan keasaman sedikit, dengan kadang-kadang memiliki rasa yang bersahaja dan sangat disenangi oleh pasar internasional.

KBQB, kerjasama dengan NCBA, juga diikuti dengan program rehabilitasi kopi untuk petani yang terkena konflik di daerah Gayo, dengan Koperasi Kredit Maju Bersama (KKMB), yang sekarang juga mempunyai 1.348 anggota dan pengumpulan uang tabungan melebihi Rp 100 juta. (Baburrayyan Team/Aped-Prject/kopigayo)

Peranan Uji Citarasa dalam Perdagangan Kopi

Pasar Kopi Dunia

Dalam pasar kopi dunia dikenal dua jenis pasar kopi, yaitu Pasar Kopi Komersial dan Pasar Kopi Spesialti. Sifat kedua pasar kopi tersebut sangat berbeda, untuk pasar kopi komersial sifatnya mutu kurang diperhatikan, volumenya cendrung besar dan harga sangat berfluktuatif, sedangkan pasar kopi spesialti mutu sangat diperhatikan, volume terbatas dan harga lebih tinggi.

Kopi spesialti (coffee specialty) adalah kopi yang memiliki cita rasa enak, berciri rasa khas dan unik yang biasanya diberi nama sesuai daerah asal kopi diproduksi, jadi bisa dikatakan bahwa kata kunci dari kopi spesialti adalah terletak pada mutu citarasa. Penikmat kopi spesialti sangat peka terhadap citarasa kopi yang mereka konsumsi, untuk itulah citarasa kopi sangat penting dalam pasar kopi spesialti. Saat ini telah ada organisasi kopi spesialti di dunia, seperti SCCA (Specialty Coffee Association of America), SCAE (Specialty Coffee Association of Europe), SCAJ (Specialty Coffee Association of Japan.

Di Indonesia pada tanggal 12 Februari 2008 telah dideklarasikan organisasi spesialti yang diberi nama AKSI (Asosiasi Kopi Spesialti Indonesia) atau SCAI (Specialty Coffee Association of Indonesia). Citarasa kopi sangat dipengaruhi oleh mutu biji kopi, oleh sebab itu teknologi pasca panen kopi harus benar-benar diperhatikan sehingga kopi tidak cacat dan rusak.

Sebelum abad 20 penentuan mutu biji kopi untuk transaksi penjualan ke AS hanya dilakukan dengan cara yang sederhana, yaitu dengan penampilan fisik biji kopi dan penampilan fisik biji kopi yang telah disangrai. Uji citarasa atau sering disebut coffee cupping dipelopori oleh Clarence E. Bickford dari Sanfransisco (AS) pada pertengahan abad 19. Metode ini terus berkembang dan mengalami penyempurnaan, dan akhirnya pada saat ini setiap transaksi kopi menggunakan cupping untuk penentuan mutu kopi, khususnya disegmen specialty.

Pentingnya Uji Citarasa

Banyak orang awam yang menanyakan apa pentingnya uji citarasa kopi (coffee taster) dilakukan?. Menurut Kenneth Davids (coffee expert international), mengatakan bahwa seorang cup tester yang berpengalaman mampu membedakan citarasa kopi dari daerah penghasil dalam campuran (blending) dengan cara yang sederhana yaitu dari mencium dan merasakan, dengan demikian asal kopi yang akan ditransaksikan dapat diketahui. Untuk menjadi seorang cup taster haruslah melakukan pelatihan dasar dan melakukan latihan berulang-ulang sehingga peka terhadap aroma dan rasa kopi.

Begitu juga pendapat dari Ted Lingle (Executive Director of the Specialty Coffee Association of America), Cupping adalah metoda sistimatik dalam mengevaluasi aroma dan rasa contoh kopi. Cupping berasosiasi dengan tujuan ekonomi, seperti pembelian dan pembuatan campuran. Donald Schoenholt (Gillies Coffee Newyork), mengatakan bahwa uji cita rasa kopi merupakan ketrampilan kunci dalam pengendalian mutu, beberapa alasan adanya cupping adalah untuk menilai biji kopi yang akan dijual, pengendalian mutu produk, pengembangan dan evaluasi produk baru atau campuran (blend), untuk menyakinkan bahan yang dibeli mutunya sesuai dengan yang diinginkan, dan terakhir untuk mengajak orang mengenal rasa kopi yang dimiliki.

Dalam industri perkopian, uji citarasa juga berguna bagi produsen, eksportir, importir dan juga roaster. Untuk para produsen gunanya untuk mengetahui mutu seduhan (cup quality) biji kopi yang dihasilkan dari kebunnya, termasuk konsistensinya juga berguna untuk menentukan cacat yang timbul dari pengolahan, untuk menentukan harga jual dari produk yang dihasilkan, dan terakhir untuk modifikasi/perbaikan metode pengolahan yang dilakukan.

Bagi eksportir uji citarasa berguna untuk membantu memutuskan apakah perlu membeli atau tidak, partai kopi yang diuji setelah hasil uji citarasa didapat barulah eksportir akan menentukan harga, ini berguna untuk memperkecil resiko claim karena citarasa. Bagi importir, berguna untuk menentukan harga jual/beli dan untuk meyakinkan para roaster (end user) .

Bagi para roaster uji cita rasa berguna untuk memilih bahan baku biji kopi yang baik juga berguna untuk pengembangan produk-produk baru khususnya variasi citarasa dan juga untuk meningkatkan daya saing di pasar dengan cara menawarkan cita rasa khas yang sesuai dengan segmen pasar. (surip/Aped-Project/kopigayo)

Friday, January 02, 2009

KOPI BORBOR GAYO RAIH JUARA III

Kopi varietas Borbor Gayo berhasil meraih juara III Kontes Kopi Spesialti Indonesia yang berlangsung sejak bulan Oktober 2008.

Kontes ini diikuti puluhan kopi jenis Arabika spesialti Indonesia. Parameter yang digunakan yakni uji fisik dan uji citarasa. Kontest tersebut dihadiri Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono.

Untuk mendapatkan input (masukkan) yang independent terhadap varietas harapan yang telah di teliti dan juga sebagai promosi kopi Gayo. APED mengirim 3 sample varietas harapan (P 88, Borbor and Timtim) ke kontes Kopi Spesialti Indonesia.

Proses seleksi sampai penetapan pemenang dilakukan dengan cara bertahap:
Tahap I uji citarasa dilakukan oleh Puslit Kopi-kakao Indonesia.
Tahap II uji citarasa dilakukan oleh Puslit Kopi-kakao Indonesia dan Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI).
Tahap III uji citarasa dilakukan oleh Puslit Kopi-kakao Indonesia dan Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) dan panelis dari Jepang, Brazil dan Jerman.

Keputusan Panelis menetapkan :
1.Kopi Enrekang, Sulsel Juara I, total score 97.50
2.Kopi Enrekang, Sulsel juara II,total score 94,00
3.Kopi Borbor (A 58), Gayo Juara III, total score 92.20

Keberhasilan Kopi Borbor sebagai juara III dallam kontes ini merupakan keberhasilan seluruh petani kopi dataran tinggi Gayo. Dari hasil kerja keras semua pihak baik itu petani, koperasi, pedagang, ekportir, Pemda Aceh Tengah dan Bener Meriah, UNDP, Bappeda NAD, APED, Forum Kopi Aceh dan semua stakeholder kopi di Aceh.


Seperti telah diberitakan sebelumnya , UNDP - APED (Aceh Partnerships for Economic Development) bersama-sama Pusat Penelitian Kopi–kakao Indonesia (Puslit kopi-kakao), BPTP NAD dan Kebun Percobaan Gayo telah melakukan penelitian terhadap beberapa varietas kopi yang ada di Dataran tinggi Gayo dan penelitian ini dilakukan selama lebih dari 1 tahun.
Varietas yang diuji adalah :
1. Bergendal (Varietas lokal, Typica)
2. Borbor (Hasil seleksi petani)
3. Timtim (Hasil seleksi KP Gayo)
4. Catimor Jaluk (Hasil seleksi petani)
5. BP 542 A (Hasil seleksi PPKKI)
6. S 288 (Hasil seleksi di India)
7. S 795 (Seleksi India, diperbaiki oleh PPKKI)
8. C 50 (Catimor type, introduksi dari Australia)
9. P 88 (Catimor type, introduksi dari Thailand)

Hasil uji gerombol (cluster analysis) mengacu pada 6 parameter citarasa (Fragrance and Aroma, Acidity, Body, Flavor, After taste dan Total score) menunjukkan hasil bahwa P 88, Borbor and Timtim merupakan varietas-varietas unggulan yang baik untuk dikembangkan di dataran tinggi Gayo. (sbarry/aped-project/kopigayo)