Thursday, June 26, 2008

Kopi Luwak Rp 5,8 juta per kilo

Kopi khusus yang dibuat dari campuran kotoran musang sekarang dijual di sebuah toserba di London seharga £50 per cangkir atau hampir Rp1 juta.

Kopi Jenis Jamaica Blue Mountain dan Kopi Luwak digunakan untuk menciptakan Caffe Raro, yang diduga merupakan kopi dengan harga per cangkir paling mahal di dunia.

Biji kopi untuk membuat Kopi Luwak dimakan, dan kemudian dikeluarkan lewat kotoran, oleh musang dan dijual seharga £324 atau Rp5,9 juta per kilogram.

Seluruh keuntungan dari penjualan kopi di toserba Peter Jones di Sloane Square selama bulan April akan disumbangkan kepada sebuah organisasi penyakit kanker di Inggris, Macmillan Cancer Support.

Biji kopi terbaik

Musang, yang hidup di antara dedaunan di kebun-kebun kopi di Asia Tenggara, diyakini pandai memilih buah kopi terbaik dan paling matang.

Zat enzim dalam sistim pencernaan musang menghancurkan isi buah kopi sebelum binatang itu mengeluarkan biji kopi bersama kotoran.

Biji-biji kopi itu kemudian dikumpuklan dari kebun kopi oleh para pekerja yang memisahkan kotoran musang dari kopi, membersihkan kopi dan kemudian menyangrai biji-biji itu.

David Cooper, yang menciptakan ramuan kopi Caffe Raro, mengatakan: "Ini adalah kopi langka yang pelan-pelan disangrai selama 12 menit untuk mendapatkan potensi maksimal kedua jenis kopi."

"Warna setelah disangrai sangat gelap, untuk memastikan kopi espresso itu sempurna untuk membuat latte atau cappucino." (BBC indonesia)

Anggaran Peremajaan dan Perluasan Kebun Kopi Rp. 9,981 Miliar

Jakarta, Departemen Pertanian menyediakan anggaran pada 2008 sebesar Rp 9,981 miliar untuk perluasan dan peremajaan perkebunan kopi di Indonesia guna meningkatkan produksinya.

Dirjen Perkebunan Departemen Pertanian Achmad Mangga Barani di Jakarta mengatakan, tahun 2008 Deptan telah menganggarkan bantuan untuk petani kopi sebesar Rp 9,981 miliar dari APBN, karena 95 persen perkebunan kopi yang ada di Indonesia dimiliki petani, tidak seperti perkebunan kelapa sawit banyak dimiliki pengusaha besar.

Khusus untuk perkebunan kopi Arabika disediakan anggaran sebesar Rp9,239 miliar sedangkan untuk perkebunan kopi robusta Rp742 juta. Anggaran lebih besar untuk kopi arabika guna mendorong peningkatan produksi, karena harganya lebih tinggi di pasaran dunia maupun di dalam negeri bila dibandingkan dengan kopi robusta, kata Mangga Barani di Jakarta, Jumat (14/3).

Achamd Mangga Barani menambahkan, Indonesia merupakan negara terbesar kedua pengekspor kopi di dunia setelah Brazil. Untuk ekspor pasar jenis kopi robusta sudah mempunyai pasar, sedangkan jenis arabika baru dicoba ke beberapa pasar dominan seperti Jepang dan dalam hal ini Indonesia sudah bekerjasama dengan Jepang. Negara tujuan ekspor lainnya adalah Eropa dan Timur Tengah.

Produksi kopi Indonesia mencapai 700 ribu ton sementara jumlah konsumsi kopi dalam negeri mencapai 170 ribu ton, sisa produksi tersebut diorientasikan ekspor ke berbagai negara.

Untuk mendukung peningkatan produksi kopi tahun 2008 ini Deptan akan memberikan 100 ribu batang varietas unggul yang mampu tahan terhadap hama penyakit dan tingkat produksi lebih tinggi, katanya.

Ada beberapa permasalahan dalam perluasan lahan kopi karena menyangkut iklim sehingga perluasan lahan tidak begitu banyak, jadi untuk meningkatkan produksi difokuskan pada peremajaan perkebunan yang sudah tua dan menggunakan bibit unggul.

Target perluasan areal perkebunan kopi hingga tahun 2010 mencapai 2,2 juta hektare, untuk perkebuna kopi arabika seluas 180 ribu hektare dengan dengan peningkatan produksi dari 47 ribu ton menjadi 81 ribu ton, peningkatan kopi produktivitas menjadi 900 kg/hektare/tahun.

Juga meningkatkan ekspor menjadi 60 ribu ton, meningkatkan pendapatan petani dan nilai tambah perbaikan pengolahan hasil dengan target 90 persen ekspor nasional berupa kopi arabika spesial olahan basah.

Sedangkan untuk robusta perluasan lahan 1.227 ribu hektare, meningkatkan produksi dari 627 ribu ton menjadi 650 ribu ton, meningkatkan ekspor dari 400 ribu ton menjadi 500 ribu ton dan nilai tambah serta daya saing melalui perbaikan mutu untuk mencapai target ekspor mutu 1 dan 2 sebesar 60 persen dan meningkatkan nilai tambah melalui pengembangan industri hilir.

Data perkebunan kopi dari Ditjen Perkebunan tahun 2006 menyebutkan luas areal seluas 1.308.732 hektare 96 persen diantaranya milik perkebunan rakyat sisanya 4,10 persen diusahakan dalam bentuk perkebunan besar, dengan volume ekspor sebesar 413.500 ton, dengan total produksi sebesar 743.409 ton.

Tingkat produktivitas rata rata saat ini sebesar 792 kg biji kering per tahun, tingkat produktivitas tanaman kopi di Indonesia cukup rendah bila dibandingkan dengan negara produsen utama kopi di dunia lainnya seperti Vietnam (1.540 kg/hektare/tahun), Colombia (1.220 kg/hektare/tahun dan Brazil (1.000 kg/hektare/tahun). (Kominfo Newsroom – Bhr/id/b)

Thursday, June 05, 2008

Kopi Gayo Sulit Bersaing karena Tak Ada Hak Paten

Takengon - Meski dikenal sebagai daerah lumbung kopi terbesar di Provinsi NAD, namun hingga kini industri pengolahan kopi di Aceh Tengah belum memiliki hak paten geografis dan hak paten atas merk dagangnya.

Padahal di tahun 2001 dan 2002, Pemda telah pernah mengusulkannya kepada Menko Perekonomian untuk mendapatkan kedua hak tersebut. Tapi usulan tersebut belum mendapat jawaban.

Belum diperolehnya hak paten geografis dan hak paten atas merk dagang ini disampaikan Bupati Aceh Tengah, Ir H Nasaruddin MM pada pertemuan Forum Kopi Aceh di Hotel Mahara Takengon.

Di daerah dataran tinggi Gayo, ujar Nasarudin, tidak sedikit jumlah industri pengolahan kopi. Namun sebagian besar masih berbentuk industri rumah tangga. Akibatnya, mereka sulit untuk bersaing dengan produk lain yang merknya sudah dipatenkan.

Nasaruddin mencontohkan, jika produk kopi petani diekspor ke Belanda dengan merk kopi Gayo, praktis royaltinya diterima pengusaha Belanda. Padahal deviden dan royaltinya merupakan nilai tambah.

Pada produk domestik regional bruto Aceh Tengah, pada tahun 2006 struktur ekonomi Aceh Tengah 50,74 persen bertumpu pada sektor pertanian. Namun pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian relatif rendah yakni 2,35 persen.

“Ketimpangan ini terjadi karena nilai tambah produk yang diperoleh petani sangat kecil,” ujarnya.

Menurut Nasaruddin, selama ini petani di daerah yang berhawa sejuk itu menjual produk kopi dalam bentuk gelondongan merah. Bentuk penjualan kopi gelondongan merah sangat rendah dibeli pedagang.

Namun bila produknya telah berbentuk bukuk kopi yang dijual, sudah hampir dipastikan nilai tambahnya lebih besar. Maka nya untuk menjawab itu kerangka kebijakan Pemda Aceh Tengah sampai 2012 dalam Rencana Pembangunan Jangka Menegah Daerah (RPJMD) dengan strateginya peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Solusi

Pada pertemuan yang dihadiri oleh para pengusaha kopi dan beberapa kepala dinas terkait, Nasaruddin sangat berharap dalam forum kopi tersebut dapat ditemui berbagai solusi.

Karena para petani kopi di Aceh Tengah maupun Bener Meriah akan merasa bangga bila dapat menugaskan Aceh Partnership Aconomy Development, (APED) untuk mengurus hak paten geografis Kopi Arabica Gayo dan hak paten atas merk dagang.

Sementara itu, Direktur PD Genap Mupakat, Prof Dr Rahman Lubis menyebutkan, untuk mendukung harapan Aceh Tengah sebagai daerah sentra kopi tahun 2008 telah dianggarkan dana sebesar Rp2,5 miliar.

Malah jika memungkinkan juga akan disiapkan sebanyak 5 juta bibit kopi untuk ditanami di atas lahan seluas 5.000 hektare. Namun Rahman meminta, varietas bibit dapat disesuaikan dengan kondisi topografi daerah ini.

Di bagian lain, Manager Project, Madia Akbar menyebutkan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember sedang melakukan kegiatan menyusun manual kopi Aceh. Di samping itu APED juga telah menguji varietas di kebun percobaan kopi Gayo.

Secara terpisah, salah seorang anggota DPRK Aceh Tengah dari Partai Keadilan Sejahtera, Bardan Sahidi mengatakan, untuk lebih mensejahterakan petani kopi di Aceh Tengah, sangat berharap harga kopi di daerah itu bisa mencapai 7 dolar AS atau Rp70.000/kg.

Karena selama ini harga pasaran kopi di daerah dingin itu ditentukan oleh pedagang yang ada di Medan. Langkah untuk mencapai harga tersebut perlu kesiapan para petani sendiri seperti mempersiapkan kopi organik tanpa pupuk kimia.(irn/Analisa)

Tuesday, June 03, 2008

Kopi Gayo dan Toraja sudah dipatenkan pihak asing

Bogor: Merek kopi Gayo dan kopi Toraja ternyata sudah dipatenkan oleh pengusaha Belanda dan Jepang, sehingga petani di Indonesia tidak bisa mengekspor kedua jenis komoditas tersebut dengan nama kopi Gayo atau Toraja.

Pengamat ekonomi pertanian, Bustanul Arifin mengungkapkan, kopi Gayo sudah dipatenkan sebagai merek dagang oleh perusahaan multinasional (MNC) Belanda, sedangkan Kopi Toraja dipatenkan oleh sebuah perusahaan Jepang.

"Akibatnya petani tidak bisa lagi memakai merek Kopi Gayo," katanya seperti dilaporkan dalam seminar nasional "Dekonstruksi Politik Pertanian Menjelang 2009 di Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), Rabu (28/5).

Hadir dalam seminar tersebut Ketua Umum Partai Hanura, Wiranto, Ketua DPP Partai Hanura, Fuad Bawazier, dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Prof Dr Ir Khairil Anwar Notodiputro, MS.

Kopi Gayo merupakan salah satu komoditas unggulan dari Gayo, Aceh Tengah sedangkan kopi Toraja berasal dari Tana Toraja, Sulawesi tengah.

Oleh karena itu, lanjut dia, pemerintah harus memperjuangkan agar kedua jenis kopi asli Indonesia tersebut tidak dijadikan merek dagang oleh pihak asing dengan mendaftarkan indikasi geografis kedua komoditas itu.

"Artinya, nama Gayo dan Toraja itu hanya ada satu-satunya di Indonesia, tidak ada di daerah lain," katanya. Jadi nama Kopi Gayo misalnya, adalah hak eksklusif masyarakat Gayo, katanya.

Pendaftaran indikasi geografis bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap produk yang bersangkutan. Bila ada pihak lain menggunakan indikasi geografis, padahal bukan berasal dari wilayah yang sudah ditentukan, maka mereka bisa dituntut.

Beberapa hasil pertanian, produk olahan dan hasil kerajinan yang berpotensi didaftarkan sebagai produk indikasi geografis, misalnya lada Lampung, tembakau Deli, beras Cianjur, salak Pondoh, markisa Medan, markisa Makassar, atau mangga Indramayu.

Permohonan pendaftaran indikasi geografis sudah dilakukan untuk kopi Kintamani dan menjadi pemohon pertama sejak pemerintah membuka pendaftaran produk indikasi geografis September lalu.

Pemohon indikasi geografis kopi Kintamani sudah melengkapi persyaratan, seperti deskripsi georafis, deskripsi produk, deskripsi pengelolaan, dan jenis tanaman.

Dekonstruksi politik pertanian

Sementara itu, Ketua Umum Partai Hanura, Wiranto mengemukakan perlunya dilakukan dekonstruksi politik pertanian yang tidak akurat kemudian merekonstruksi kebijakan pertanian untuk masa depan.

"Kita sudah agak melalaikan bahwa sebenarnya pertanian yang melahirkan pangan dan menopang ketahanan pangan menjadi faktor penentu dalam ketahanan nasional," katanya.

Kalau produksi pangan minus dan tergantung negara lain, ketahanan pangan menjadi rapuh dan akhirnya ketahanan nasional pun juga rapuh.

"Pengalaman di berbagai negara, jika ketahanan pangan rapuh negara bisa kolaps dari dalam," katanya. Oleh karenanya, harus ada perubahan secara mendasar untuk kembali menempatkan pertanian sebagai salah satu domain utama dalam pembangunan nasional.

Sementara itu, staf pelaksana pada sekretariat organisasi La Via Campesina, Tejo Pramono mengatakan, dekonstruksi politik pertanian bukan hanya ditujukan pada undang-undang saja namun juga untuk agribisnis yang berorientasi pasar.

"Bagaimana kita bisa berpihak pada petani jika kita fokus pada agribisnis yang berorientasi pasar. Sedangkan pasar dikuasai oleh pengusaha besar," katanya. (Mnr/Antara)

Pascakenaikan BBM; Transaksi Hasil Bumi Aceh Lesu

Banda Aceh - Pascakenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), transaksi berbagai jenis komoditas unggulan yang dihasilkan petani di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dirasakan semakin “lesu”, namun harganya terlihat cukup stabil.

Ayah Ramli, salah seorang pedagang pengumpul hasil bumi di Banda Aceh, Selasa, menyebutkan, selama beberapa hari terakhir ini permintaan komoditas unggulan seperti kopi kering jenis robusta, cengkeh, pala, kakao dan pinang menurun dratis dibandingkan keadaan sebelumnya.

Sebelum naiknya harga BBM, transaksi komoditas unggulan terlihat cukup sibuk, seperti kopi jenis robusta, setiap harinya dua sampai tiga ton laku terjual. Namun selama beberapa hari terakhir ini, satu ton saja sulit.
“Kami tidak mengerti mengapa transaksi komoditas unggulan sangat ‘lesu’ dan keadaan ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Paling-paling di saat persediaannya melimpah harganya menurun. Itupun bersifat sementara,” katanya.

Harga kopi robusta kini bervariasi antara Rp 22.000 sampai Rp 25.000/kg, sedangkan kopi arabika yang dihasilkan petani dari dataran tinggi “Tanah Gayo” yang mencakup Aceh Tengah dan Bener Meriah bertahan pada level Rp 28.000/kg, namun tidak beredar di Aceh karena semuanya mengisi pasaran ekspor.

“Yang jelas, dampak kenaikan harga BBM tidak berpengaruh terhadap harga hasil bumi di Aceh,” katanya.Berbeda pada masa krisis ekonomi lalu, harga hasil bumi naik tajam, seperti harga cengkeh, kopi dan pala serta minyak atsiri nilam dari sebelumnya Rp 300.000 meroket hingga mencapai Rp1,5 juta perkilogram.

Khusus kopi robusta, kata Ayah Ramli, sisa stok hasil panen lalu kini banyak dijual kepada pengusaha penggilingan bubuk kopi karena para pedagang pengumpul kesulitan memasarkannya selama dua pekan terakhir ini akibat menurunnya permintaan dari pedagang di Propinsi Sumatera Utara (Sumut).

Sebelumnya, Direktur PD Genap Mupakat, salah sebuah perusahaan yang menampung kopi rakyat di sentra produksi Aceh Tengah, H Taufiq MS, menyebutkan produksi kopi di daerah dataran tinggi Tanah Gayo kini berkurang karena di luar musim panen.

Luas areal tanaman kopi rakyat di “Tanah Gayo” (Aceh Tengah dan Bener Meriah) mencapai 70.000 hektare, sekitar 90 persen di antaranya merupakan kopi arabika, sedangkan sisanya merupakan kopi robusta dengan total produksi rata-rata antara 800 kilogram/hektar/tahun.

“Sebenarnya, kalau dikelola secara lebih baik, produksi kopi rakyat di kedua daerah itu masih bisa ditingkatkan antara satu ton sampai 1,2 ton per hektar,” demikian H Taufiq MS. (Medan Bisnis)