Thursday, May 01, 2008

Kopi Gayo Made In Belanda

Oleh Win Ruhdi Bathin

TANGAN Inen Tauhid bergerak cepat. Seperti memetik dawai-dawai harpa yang bersenar banyak, jari manis, tengah, telunjuk dan ibu jarinya memetik buah-buah kopi merah matang dari tangkainya dengan cekatan. Tangan kanan, tangan kiri sama lincahnya. Ribuan bahkan puluhan ribu buah kopi biasa terkumpul dalam sehari.

Setelah buah kopi di pohon yang satu selesai dipetik, Inen akan beralih ke pohon lain yang jaraknya satu sama lain sejauh dua meter. Sementara itu di bawah sebatang pohon kopi, tampak sebuah ember plastik untuk menaruh buah kopi. Jika ember ini penuh, tidak jauh dari situ tersedia karung-karung plastik untuk mengumpulkan buah-buah tersebut.

“Dalam satu hari, saya bisa memetik enam sampai sembilan kaleng (ember) buah kopi,” ujar Inen. Ia berusia 30 tahun, ibu beranak tiga, lulusan madrasah tsanawiyah atau setara sekolah menengah pertama. Sementara Aman Tauhid, suaminya berumur 35 tahun, hanya sempat mengecap pendidikan sampai kelas empat sekolah dasar.

Aman menemani Inen memanen kopi. Tapi ia cuma mengambil cabang-cabang pohon kopi tidak berproduktif dan dianggap hanya mengurangi panen buah kopi di tahun berikutnya.

“Kalau saya ikut ngutip kopi, dalam sehari hanya mampu memetik satu kaleng. Jadi banyak rugi waktu dan tidak produktif,” kata Aman.

Di pinggang kirinya terselip sebilah parang yang diikat dengan tali karet melingkari pinggangnya. Ia memakai sepatu bot. Seekor anjing jantan menyalak saat saya mendekati Aman. Anjing biasa menemani Aman dan para petani di Takengon, Aceh Tengah saat berada di kebun.

Anjing banyak manfaatnya. Selain untuk berburu babi yang dianggap hama kopi, di malam hari ia bertugas menjaga rumah-rumah petani yang kebanyakan tersebar dan dipisahkan kebun-kebun kopi yang luas. Para petani akan tahu mana gonggongan anjing jika ada babi dan mana gonggongan jika ada manusia yang datang.

Di setiap kebun, biasanya ada dangau atau rumah kebun. Tidak luas. Hanya untuk istirahat dan makan siang atau minum kopi dan menaruh alat-alat berkebun seperti cangkul dan semprot tanaman (handsprayer). Biasanya rumah kebun tanpa dinding. Ukurannya 2 x 2 meter persegi. Bahkan ada yang lebih kecil dengan tinggi tak lebih dari satu setengah meter. Atapnya dari seng bekas. Tiangnya dari bambu atau kayu bekas. Sementara itu rumah tinggal petani kopi seperti Aman berada sekitar setengah kilometer dari kebunnya.

Kebun Aman tidak luas. Hanya tujuh rante. Satu rante berukuran 25 x 25 meter persegi. Ada 800 batang kopi di situ. Panen setahun bisa menghasilkan uang lebih dari Rp.15 juta.

“Dalam Rp. 15 juta itu, semua kebutuhan hidup seperti sandang, pangan dan papan,” kata Aman kepada saya.

Ternyata Aman tak hanya mengandalkan kopi. Di sela-sela batang kopi itu, ia dan istrinya menanam cabe rawit. Orang Gayo menyebutnya cabe caplak.

Harga cabe rawit tak pernah tetap, berkisar antara Rp.2.000 sampai Rp.20 ribu per kilogram. Menanam cabe rawit sangat membantu perekonomian keluarga ini. Uang hasil kopi ternyata tak bisa diandalkan sepenuhnya untuk menopang kebutuhan mereka.

Kebun kopi panen dua kali setahun. Panen pertama pada bulan April sampai Mei. Jeda tiga bulan pada bulan Juni, Juli, dan Agustus. Panen kedua dimulai pada bulan September dan puncaknya antara bulan November dan Desember.

“Jika panen raya, biasanya kami mempekerjakan dua orang tetangga untuk mengutip kopi. Satu kali masa panen mencapai 150 kaleng,” tutur Inen.

Ongkos panen kopi per kaleng berkisar antara Rp.9.000 sampai Rp 10 ribu. Satu orang pengutip kopi bisa memetik hingga sembilan kaleng.

“Saat ini harga per kaleng kopi dengan kulitnya Rp.55 ribu,” kata Aman, sambil menghisap rokok kretek bermerek 152.

Petani seperti Aman biasa menjual kopi kepada toke (pedagang pengumpul) yang biasanya warga setempat.

Oleh sang toke, kebun Aman diberi label setahun lalu yang menandakan Aman adalah anggota petani organik koperasi Baburrayan. Baburrayan adalah mitra eksportir kopi asal Amerika. Eksportir Amerika ini punya mesin penggilingan kopi di Pegasing, di kecamatan Pegasing, Aceh Tengah.

Eksportir Amerika hanya membeli kopi petani lewat Baburrayan.

Para petani,pada umumnya tidak suka berkebun kopi secara organik. Berkebun dengan cara ini pantang menggunakan zat kimia, seperti pupuk kimia dan herbisida. Bagi petani hal itu merepotkan. Mereka harus menunggu lama untuk mendapatkan hasil kebun, sementara kebutuhan hidup tak bisa ditunda-tunda.

Belum lagi urusan dengan toke. Para toke itu seringkali tidak membayar kontan kopi yang mereka beli. Biasanya pembayaran dilakukan dua atau tiga hari sesudahnya, tergantung kesepakatan. Alasan toke itu macam-macam, seperti mereka belum terima uang dari toke yang lebih besar.

Setelah membeli buah kopi dari para petani di siang hari, toke kemudian menggiling buah kopi tersebut di malam hari.

“Paginya, kopi yang digiling semalam dicuci sampai bersih dengan menghilangkan lemak pada kopi merah,” kata Amri, salah seorang toke.

Oleh Amri, kopi yang telah dibasuh dijemur di pinggir jalan beraspal di depan rumahnya. Hanya dibutuhkan setengah hari jika cuaca bagus. Kemudian kopi giling yang disebut gabah ini dijual lagi kepada pedagang yang lebih besar. Harga gabah mencapai Rp.15 ribu per bambu.

Sementara harga beli kopi di Baburrayan malah lebih rendah: Rp.14.700.

Produksi kopi di Indonesia saat ini mencapai 600 ribu ton per tahun. Lebih dari 80 persen produksi berasal dari perkebunan rakyat. Perkebunan ini merupakan kumpulan dari kebun-kebun kecil yang dimiliki oleh petani dengan luas antara satu sampai dua hektare.

Namun, petani yang menjadi penghasil kopi rakyat tidak mempunyai modal, teknologi, dan pengetahuan yang cukup untuk mengelola tanaman yang mereka miliki secara optimal. Dengan demikian, produktivitas tanaman relatif rendah dibandingkan dengan potensinya. Selain itu, petani umumnya juga belum mampu menghasilkan biji kopi dengan mutu seperti yang dipersyaratkan untuk ekspor.

Beberapa faktor penyebabnya adalah minimnya sarana pengolahan, lemahnya pengawasan mutu pada seluruh tahapan proses pengolahan dan sistem tata niaga kopi rakyat yang tidak berorientasi pada mutu.

Selain itu, dalam lima tahun terakhir ini kontaminasi okhratoxin pada biji kopi mulai mendapat sorotan yang serius oleh konsumen Eropa. Kontaminasi senyawa tersebut umumnya terjadi sebagai akibat proses pengeringan yang kurang sempurna sehingga jamur penyebab tumbunya okhratoxin menjadi aktif.

Seiring dengan semakin baiknya kondisi keamanan Aceh, dataran tinggi Gayo yang merupakan sentra produksi kopi Arabika terbesar di Indonesia terus meningkatkan produksi kopinya. Sebanyak 85 persen kopi di Aceh Tengah berjenis Arabika, sisanya merupakan tanaman kopi Robusta.

Menurut John R Bowen, dalam bukunya Sumatran Politics and Poetics, Gayo History, 1900-1989, menulis bahwa pohon kopi Arabika di Aceh Tengah telah ditanam pada tahun 1908.

Di masa tersebut Belanda mulai mengembangkan kopi di Aceh Tengah secara besar-besaran bersama komoditas lainnya, seperti teh dan sayur. Karena menurut Belanda, masyarakat Aceh Tengah sangat cepat menerima jenis tanaman baru dan tentu saja faktor iklim yang sejuk itu sangat mendukung. Kini 83, 19 persen penduduk Aceh Tengah bermatapencaharian sebagai petani kopi.

Di pasaran kopi dunia, kopi Arabika sejak lama telah dikenal dengan sebutan Sumatera Mandailing/Lintong Coffee. Dan akhir-akhir ini kopi Aceh Tengah telah dijual dengan nama Gayo Mountain. Beberapa kalangan bahkan menilai kopi dari daerah ini memiliki kualitas tertinggi di dunia.

Ekspor kopi Aceh Tengah pada tahun 1990-an lebih banyak ke Jepang, Namun dewasa ini, Amerika Serikat merupakan pasar terbesar bagi kopi Aceh Tengah. Pada tahun 2000, Amerika Serikat merupakan pasar utama dengan persentase sebesar 53,70 persen, disusul Jepang sebesar 22,34 persen dari keseluruhan jumlah ekspor kopi Aceh Tengah sebesar 4.254 ton.

Tak kurang dari mantan presiden Amerika Serikat Bill Clinton pernah mengatakan kepada media bahwa kopi Gayo akan digaet Starbuck.

Sebelum pernyataan Bill Clinton muncul, beberapa pengusaha asing bahkan sudah menanam sahamnya di Takengon dan Bener Meriah. Bahkan ada yang mengawini gadis setempat.

Seorang petani kopi asal Takengon, Aman Shafa, berkata, “Kenapa tidak ada keberanian dari Pemda (Pemerintah Daerah) untuk menjadikan Aceh sebagai provinsi kopi atau kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah sebagai Kabupaten Kopi? Seperti pernah dilakukan oleh Amerika Latin dengan melakukan revolusi kopi dengan menyebut Negara Kopi untuk negeri mereka.”

Terlebih lagi dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah terlihat jelas bahwa sektor pengembangan kopi masih berada di urutan paling bawah.

Areal perkebunan kopi di Aceh Tengah pada saat ini telah mencapai 46.286 hektare dan mempunyai potensi untuk dikembangkan sampai 65.000 hektare.

Hampir seluruh perkebunan kopi yang ada merupakan perkebunan kopi rakyat dengan pola swadaya masyarakat. Macam varietas yang dikembangkan juga beragam namun varietas lokal (seperti Bergendal, Sidikalang, dan Rambung) masih menempati urutan tertinggi, yaitu lebih kurang 34,17 persen dari seluruh luas kebun kopi di Aceh Tengah. Sisanya berupa varietas HDT (Timor Timur), Lini-S (Jember, Jawa Timur) dan Catimor dengan perbandingan yang hampir sama.


DI salah satu edisi harian Bisnis Indonesia, sebuah media Jakarta, disebutkan bahwa “Kopi Gayo” telah didaftarkan oleh pengusaha Belanda sebagai merek dagang di sana, sehingga eksportir kopi dari daerah Gayo tidak bisa mengekspor komoditas itu dengan menggunakan merek “Kopi Gayo” lagi.

Hal ini merugikan pengusaha setempat, padahal seharusnya kopi Gayo berpotensi didaftarkan sebagai produk indikasi geografis karena unik.

"Ditjen Hak Kekayaan Intelektual sudah bisa menerima pendaftaran indikasi geografis," ujar Elizar Darmanto, Kasubdit Indikasi Geografis Direktorat Merek.

Pendaftaran indikasi geografis bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap produk yang bersangkutan.

Bila ada pihak lain menggunakan indikasi geografis, padahal bukan berasal dari wilayah yang sudah ditentukan, maka mereka bisa dituntut.

Sekadar contoh, pengusaha kopi di Makassar tidak boleh menggunakan kata “Kopi Toraja” untuk produk kopi yang dihasilkan di wilayah Makassar. Kata “Kopi Toraja” adalah hak eksklusif masyarakat Tana Toraja.

Elizar mengemukakan pemerintah kini terus melakukan sosialisasi kepada daerah yang berpotensi, supaya masyarakatnya mau mendaftarkan produk berindikasi geografis.

Menurutnya, banyak hasil pertanian, produk olahan dan hasil kerajinan yang berpotensi didaftarkan sebagai produk indikasi geografis, misalnya lada Lampung, tembakau Deli, beras Cianjur, salak Pondoh, markisa Medan, markisa Makassar, atau mangga Indramayu.

"Di Thailand, telor asin saja didaftarkan sebagai produk indikasi geografis. Indonesia juga memiliki telor asin asal Brebes yang sudah terkenal," ujarnya.***(Pantau Aceh Feature Service)

1 comment:

warung kopi said...

salam kenal dari kami, sangat menambah wawasan dengan membaca blog ini