Friday, March 14, 2008

Belajar dari kasus Kopi Gayo dan Toraja (Bag. 2 dari 2 tulisan)

Potensi indikasi geografis melimpah, sudah saatnya pemerintah jemput bola

Apakah bisa merek Kopi Gayo atau Kopi Toraja, yang sudah didaftarkan oleh pengusaha asing, dibatalkan

Saky Septiono, ketika dihubungi Bisnis, mengatakan pendaftaran Kopi Gayo di Belanda dan Toraja di Jepang dapat dibatalkan.

Gayo dan Toraja, ujar Saky, adalah nama wilayah atau daerah penghasil kopi di Indonesia. "Indikasi geografis tidak bisa didaftarkan sebagai merek dagang. Gayo dan Toraja itu adalah indikasi geografis."

Berdasarkan UU No. 15/ 2001 tentang Merek, indikasi geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis, memberikan cirikhas dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Indikasi geografis mendapat perlindungan setelah terdaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh lembaga, yang mewakili masyarakat di daerah, yang memproduksi barang yang bersangkutan.

Selain itu, permohonan juga dapat diajukan oleh lembaga yang diberi wewenang atau kelompok konsumen. Untuk kopi, misalnya, bisa diajukan oleh Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia setempat.

Perlindungan hukum terhadap produk indikasi geografis itu berlangsung selama ciri-ciri atau kualitas yang menjadi dasar, bagi diberikannya perlindungan itu, masih ada.

Bagaimana prosedur pembatalan Kopi Gayo atau Kopi Toraja "Kopi Toraja dan Kopi Gayo itu harus didaftarkan dahulu di dalam negeri sebagai indikasi geografis, setelah itu dinotifikasi ke World Intellectual Property Organization (WIPO)," jelas Saky.

Jika sudah dinotifikasi ke WIPO, menurutnya, setiap anggota WIPO akan menghormatinya, sehingga dengan cara demikian pengusaha Belanda atau Jepang tidak lagi bisa menghalang-halangi masuknya kopi Gayo ke Belanda.

"Hingga sekarang Kopi Gayo dan Kopti Toraja memang belum didaftarkan sebagai indikasi geografis ke Direktorat Merk Ditjen Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Depkumham. Kita sudah menyarankan kepada pengusaha setempat supaya segera mendaftarkan Kopi Gayo untuk mendapatkan perlindungan hukum," tandasnya.

Bila cara seperti itu sudah ditempuh, ujarnya, terbuka peluang untuk membatalkan pendaftaran merek Kopi Gayo di Belanda. "Pada prinsipnya indikasi geografis tidak boleh didaftarkan sebagai merek dagang. Kopi Gayo iu adalah indikasi geografis di Indonesia," tegas Saky.

Insan Budi Maulana, konsultan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) mengemukakan pada prinsipnya, pendaftaran merek Kopi Gayo di Belanda atau Kopi Toraja di Jepang, dapat dibatalkan melalui proses pengadilan.

Insan menyarankan agar pemerintah, dalam hal ini Direktorat Kerjasama Ditjen HKI lebih berperan aktif membantu pengusaha, dengan cara memberitahukan mitranya di Belanda dan Jepang, bahwa Gayo dan Toraja nama wilayah di Indonesia.

Dengan cara demikian, menurutnya, diharapkan tidak ada lagi hambatan bagi kopi dari Gayo untuk masuk ke Eropa, khususnya Belanda.

Sosialisasi kurang

Munculnya kasus soal pengambilalihan kekayaan intelektual Indonesia oleh pihak asing, menunjukkan kesadaran masyarakat masih kurang.

Kekurangpahaman masyarakat, terutama berkaitan dengan indikasi geografis, tidak terlepas dari minimnya sosialisasi kepada masyarakat.

Saky Septiono mengemukakan bahwa Indonesia tertinggal soal indikasi geografis, bila dibandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand.

"Di Thailand, telor asin saja didaftarkan sebagai indikasi geografis. Potensi Indonesia sebenarnya jauh lebih besar," tambahnya.

Survei yang pernah dilakukan Ditjen HKI menunjukkan beberapa produk pertanian, olahan, hasil kerajinan, dan barang lainnya, dapat didaftarkan sebagai indikasi geografis.

Produk itu, antara lain lada Lampung, tembakau Deli, coklat Bone, pala Ternate, beras Cianjur, kayu manis Bukit Tinggi, salak Pondoh, markisa Medan, markisa Makassar, cengkeh Ternate, mangga Indramayu, kopi Toraja dan ukiran kayu Asmat.

Sebenarnya, pemerintah sudah membuka pendaftaran produk indikasi geografis sejak September 2007. Akan tetapi, hingga kini baru tercatat enam permohonan yang masuk ke Direktorat Merk.

Salah satu produk pertanian, yang sedang dalam proses pendaftaran indikasi geografis, adalah kopi Kintamani. Pendaftaran itu diajukan oleh Kecamatan Kintamani, Kec. Bangli, Kec Pupuan, Kab Badung dan beberapa kecamatan di Kab Bulelang.

Mereka sepakat mendaftarkan kopi Kintamani Bali sebagai produk indikasi geografis, karena adanya persamaan dalam cara pengelolaan kopi di wilayah tersebut.

Pemohon diketahui sudah melengkapi persyaratan, seperti deskripsi geografis, deskripsi produk, deskripsi pengelolaan, dan jenis tanaman.

"Kopi Kintamani Bali adalah pilot project dan pemohon pertama, setelah pemerintah membuka pendaftaran produk indikasi geografis sejak September tahun lalu." ungkap Saky.

Direktorat Merek, katanya, telah memeriksa kelengkapan persyaratan. Saat ini prosesnya tinggal menunggu pemeriksaan substantif dari tim ahli.

Minimnya permohonan pendaftaran produk indikasi geografis menunjukkan banyak masyarakat atau pengusaha setempat kurang paham mengenai manfaat pendaftaran indikasi geografis.

Produk indikasi geografis akan dihargai lebih mahal, bila dibandingkan dengan produk serupa dari daerah lain. Markissa Medan akan dihargai lebih mahal, bila dibandingkan dengan markissa dari daerah lain karena sudah ada standar kualitas terhadap produk itu.

Ditjen HKI diharapkan lebih berperan aktif dengan menerapkan kebijakan jemput bola, melalui sosialisasi ke daerah-daerah yang memiliki potensi indikasi geografis.

Jika perlu, pemerintah membimbing pengusaha atau masyarakat setempat untuk persiapan, proses, dan mendaftarkan produk indikasi geografis hingga terbit sertifikat. (suwantin.oemar@bisnis.co.id)

1 comment:

evolution coffee said...

saya suka banget dengan kopi gayo krn citarasanya yang khas, kita sebagai orang aceh harus mengangkat kopi aceh, bang tolong dong website sy ditaruh di LINK blog nya.tks
http://evolutioncoffee.weebly.com