Redelong - Para penangkar benih kopi mengeluhkan naiknya harga bahan baku, terutama polybag. Kenaikan harga polybag yang hampir mencapai 50 persen, memberatkan para penangkar benih kopi, terutama para penangkar mandiri.
Jusriadi (38), penangkar benih kopi di Desa Jungke, Kecamatan Permata, Kabupaten Bener Meriah, Kamis (28/2), mengatakan, beberapa waktu lalu, harga polybag hanya sekitar Rp 10.000 per kilogram. Namun, sekarang mencapai Rp 15.000 per kilogramnya.
Dia mengatakan, untuk menanam sekitar 200.000 benih kopi arabica, setidaknya dibutuhkan 10-20 kilogram kantung plastik jenis tersebut. Padahal, harga benih kopi siap jual tidak mengalami perubahan sejak beberapa tahun lalu.
Harga tidak berubah
Jusriadi mengatakan, harga benih kopi siap tanam dari jenis Ateng Super (arabica) yang ditangkarnya tidak berubah sejak beberapa tahun terakhir. Harga benih siap tanam yang berusia sekitar enam hingga tujuh bulan dijual dengan harga Rp 1000 per batang. "Padahal, ongkos pemeliharaan dari usia nol sampai siap tanam lebih dari nilai penjualan itu," katanya.
Bapak empat anak ini mengatakan, harga minimal benih kopi siap tanam seharusnya Rp 1300-Rp 1500 per batang. Namun, tidak banyak pihak yang membeli puluhan ribu benih kopi siap tanam itu, sehingga para penangkar menurunkan harga meski dengan risiko mendapatkan keuntungan sangat sedikit. "Hanya menutup modal kerja saja," katanya.
Hal senada juga dikatakan Syaiful (55), warga Takengon, Aceh Tengah. Menurutnya, meroketnya harga polybag membuat keuntungan mereka semakin kecil. Waktu pembibitan yang lama dan naiknya biaya pekerja karena peningkatan harga kebutuhan pokok semakin menjepit para penangkar benih kopi.
Biaya Mandiri
Menurut Jusriadi, kenaikan harga bahan baku polybag sangat dirasakan para penangkar benih kopi, karena seluruh biaya usaha yang mereka lakukan berasal dari modal sendiri.
Jusriadi yang telah 23 tahun mengembangkan usaha ini mengaku sudah beberapa kali mengajukan permohonan kredit ke lembaga keuangan, baik milik pemerintah maupun swasta. Begitu juga dengan lembaga keuangan mikro. Namun, sampai saat ini upayanya belum berhasil. "Mungkin hanya pengusaha besar saja yang bisa mendapatkan dana seperti itu. Kalau pengusaha kecil seperti kami di sini sulit," tuturnya.
Sementara itu, beberapa pedagang kopi lokal asal Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah mengaku sulit mendapatkan harga bagus. Harga kopi Gayo asal kedua kabupaten ini ditentukan oleh para tengkulak atau pengumpul besar asal Sumatera Utara.
Syamsudin, salah satu pedagang kopi asal Aceh Tengah mengatakan, selama ini harga jual kopi di tingkat pedagang dan petani cukup rendah. Menurutnya, harga itu tidak menutupi ongkos pemeliharaan di tingkat petani dan jerih payah pedagang. (MHD/KOMPAS)
Tuesday, March 18, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
Kalau harga saprotan naik, petani yang jadi korban. Tapi sebaliknya kalau harga komoditas naik, bukan petani yang meraih untung, tapi makelar yang untung.
Kalau begini terus, petani harus MELAWAN.......
Bukan Nya Sudah Ada PPKO per sataun petani kopi gayo organic yg dapat sertifikat dari Fare trade( memperhatikan kesejahteraan lingkungan pekerja, petani dll) seharus Nya lembaga itu justru lbh memperhatikan kesejahteraan petani2 kecil.. Mungkin dgn adanya Koprasi di daerah itu Akan membantu permasalahan keuangan..harapan saya mudah2an pemerintah lbh memperhatikan petani2 kecil,agar kesejahteraan bisa di laksanakan oleh setiap kalangan..Amin
Sebenarnya Gayo Sudah Ada organisasi PPKO(persatuan petani kopi gayo organic) yg ber sertifikat fare trade (itu artinya sertifikat lembaga dunia yg salah satunya menyatakan cara berbisnis yg memperhatikan kesejahteraan lingkungan yaitu Salah satu ya petani kecil) jd Mohon untuk itu kepada pemerintah atau PPKO lebih memperhatikan kesejahteraan petani kecil, jangan cuma berpikir kesejahteraan sendiri,mungkin juga dgn Ada Nya Koprasi Akan membantu permasalahan petani kecil..harapkan Saya,mudah2an semua bisa lbh berbagi dgn semua kalangan..biar kesejahteraan semakin merata..Amin
Post a Comment