Bogor: Merek kopi Gayo dan kopi Toraja ternyata sudah dipatenkan oleh pengusaha Belanda dan Jepang, sehingga petani di Indonesia tidak bisa mengekspor kedua jenis komoditas tersebut dengan nama kopi Gayo atau Toraja.
Pengamat ekonomi pertanian, Bustanul Arifin mengungkapkan, kopi Gayo sudah dipatenkan sebagai merek dagang oleh perusahaan multinasional (MNC) Belanda, sedangkan Kopi Toraja dipatenkan oleh sebuah perusahaan Jepang.
"Akibatnya petani tidak bisa lagi memakai merek Kopi Gayo," katanya seperti dilaporkan dalam seminar nasional "Dekonstruksi Politik Pertanian Menjelang 2009 di Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), Rabu (28/5).
Hadir dalam seminar tersebut Ketua Umum Partai Hanura, Wiranto, Ketua DPP Partai Hanura, Fuad Bawazier, dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Prof Dr Ir Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Kopi Gayo merupakan salah satu komoditas unggulan dari Gayo, Aceh Tengah sedangkan kopi Toraja berasal dari Tana Toraja, Sulawesi tengah.
Oleh karena itu, lanjut dia, pemerintah harus memperjuangkan agar kedua jenis kopi asli Indonesia tersebut tidak dijadikan merek dagang oleh pihak asing dengan mendaftarkan indikasi geografis kedua komoditas itu.
"Artinya, nama Gayo dan Toraja itu hanya ada satu-satunya di Indonesia, tidak ada di daerah lain," katanya. Jadi nama Kopi Gayo misalnya, adalah hak eksklusif masyarakat Gayo, katanya.
Pendaftaran indikasi geografis bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap produk yang bersangkutan. Bila ada pihak lain menggunakan indikasi geografis, padahal bukan berasal dari wilayah yang sudah ditentukan, maka mereka bisa dituntut.
Beberapa hasil pertanian, produk olahan dan hasil kerajinan yang berpotensi didaftarkan sebagai produk indikasi geografis, misalnya lada Lampung, tembakau Deli, beras Cianjur, salak Pondoh, markisa Medan, markisa Makassar, atau mangga Indramayu.
Permohonan pendaftaran indikasi geografis sudah dilakukan untuk kopi Kintamani dan menjadi pemohon pertama sejak pemerintah membuka pendaftaran produk indikasi geografis September lalu.
Pemohon indikasi geografis kopi Kintamani sudah melengkapi persyaratan, seperti deskripsi georafis, deskripsi produk, deskripsi pengelolaan, dan jenis tanaman.
Dekonstruksi politik pertanian
Sementara itu, Ketua Umum Partai Hanura, Wiranto mengemukakan perlunya dilakukan dekonstruksi politik pertanian yang tidak akurat kemudian merekonstruksi kebijakan pertanian untuk masa depan.
"Kita sudah agak melalaikan bahwa sebenarnya pertanian yang melahirkan pangan dan menopang ketahanan pangan menjadi faktor penentu dalam ketahanan nasional," katanya.
Kalau produksi pangan minus dan tergantung negara lain, ketahanan pangan menjadi rapuh dan akhirnya ketahanan nasional pun juga rapuh.
"Pengalaman di berbagai negara, jika ketahanan pangan rapuh negara bisa kolaps dari dalam," katanya. Oleh karenanya, harus ada perubahan secara mendasar untuk kembali menempatkan pertanian sebagai salah satu domain utama dalam pembangunan nasional.
Sementara itu, staf pelaksana pada sekretariat organisasi La Via Campesina, Tejo Pramono mengatakan, dekonstruksi politik pertanian bukan hanya ditujukan pada undang-undang saja namun juga untuk agribisnis yang berorientasi pasar.
"Bagaimana kita bisa berpihak pada petani jika kita fokus pada agribisnis yang berorientasi pasar. Sedangkan pasar dikuasai oleh pengusaha besar," katanya. (Mnr/Antara)
Tuesday, June 03, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment