Takengon - Meski dikenal sebagai daerah lumbung kopi terbesar di Provinsi NAD, namun hingga kini industri pengolahan kopi di Aceh Tengah belum memiliki hak paten geografis dan hak paten atas merk dagangnya.
Padahal di tahun 2001 dan 2002, Pemda telah pernah mengusulkannya kepada Menko Perekonomian untuk mendapatkan kedua hak tersebut. Tapi usulan tersebut belum mendapat jawaban.
Belum diperolehnya hak paten geografis dan hak paten atas merk dagang ini disampaikan Bupati Aceh Tengah, Ir H Nasaruddin MM pada pertemuan Forum Kopi Aceh di Hotel Mahara Takengon.
Di daerah dataran tinggi Gayo, ujar Nasarudin, tidak sedikit jumlah industri pengolahan kopi. Namun sebagian besar masih berbentuk industri rumah tangga. Akibatnya, mereka sulit untuk bersaing dengan produk lain yang merknya sudah dipatenkan.
Nasaruddin mencontohkan, jika produk kopi petani diekspor ke Belanda dengan merk kopi Gayo, praktis royaltinya diterima pengusaha Belanda. Padahal deviden dan royaltinya merupakan nilai tambah.
Pada produk domestik regional bruto Aceh Tengah, pada tahun 2006 struktur ekonomi Aceh Tengah 50,74 persen bertumpu pada sektor pertanian. Namun pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian relatif rendah yakni 2,35 persen.
“Ketimpangan ini terjadi karena nilai tambah produk yang diperoleh petani sangat kecil,” ujarnya.
Menurut Nasaruddin, selama ini petani di daerah yang berhawa sejuk itu menjual produk kopi dalam bentuk gelondongan merah. Bentuk penjualan kopi gelondongan merah sangat rendah dibeli pedagang.
Namun bila produknya telah berbentuk bukuk kopi yang dijual, sudah hampir dipastikan nilai tambahnya lebih besar. Maka nya untuk menjawab itu kerangka kebijakan Pemda Aceh Tengah sampai 2012 dalam Rencana Pembangunan Jangka Menegah Daerah (RPJMD) dengan strateginya peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Solusi
Pada pertemuan yang dihadiri oleh para pengusaha kopi dan beberapa kepala dinas terkait, Nasaruddin sangat berharap dalam forum kopi tersebut dapat ditemui berbagai solusi.
Karena para petani kopi di Aceh Tengah maupun Bener Meriah akan merasa bangga bila dapat menugaskan Aceh Partnership Aconomy Development, (APED) untuk mengurus hak paten geografis Kopi Arabica Gayo dan hak paten atas merk dagang.
Sementara itu, Direktur PD Genap Mupakat, Prof Dr Rahman Lubis menyebutkan, untuk mendukung harapan Aceh Tengah sebagai daerah sentra kopi tahun 2008 telah dianggarkan dana sebesar Rp2,5 miliar.
Malah jika memungkinkan juga akan disiapkan sebanyak 5 juta bibit kopi untuk ditanami di atas lahan seluas 5.000 hektare. Namun Rahman meminta, varietas bibit dapat disesuaikan dengan kondisi topografi daerah ini.
Di bagian lain, Manager Project, Madia Akbar menyebutkan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember sedang melakukan kegiatan menyusun manual kopi Aceh. Di samping itu APED juga telah menguji varietas di kebun percobaan kopi Gayo.
Secara terpisah, salah seorang anggota DPRK Aceh Tengah dari Partai Keadilan Sejahtera, Bardan Sahidi mengatakan, untuk lebih mensejahterakan petani kopi di Aceh Tengah, sangat berharap harga kopi di daerah itu bisa mencapai 7 dolar AS atau Rp70.000/kg.
Karena selama ini harga pasaran kopi di daerah dingin itu ditentukan oleh pedagang yang ada di Medan. Langkah untuk mencapai harga tersebut perlu kesiapan para petani sendiri seperti mempersiapkan kopi organik tanpa pupuk kimia.(irn/Analisa)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment