Tuesday, June 03, 2008

Pascakenaikan BBM; Transaksi Hasil Bumi Aceh Lesu

Banda Aceh - Pascakenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), transaksi berbagai jenis komoditas unggulan yang dihasilkan petani di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dirasakan semakin “lesu”, namun harganya terlihat cukup stabil.

Ayah Ramli, salah seorang pedagang pengumpul hasil bumi di Banda Aceh, Selasa, menyebutkan, selama beberapa hari terakhir ini permintaan komoditas unggulan seperti kopi kering jenis robusta, cengkeh, pala, kakao dan pinang menurun dratis dibandingkan keadaan sebelumnya.

Sebelum naiknya harga BBM, transaksi komoditas unggulan terlihat cukup sibuk, seperti kopi jenis robusta, setiap harinya dua sampai tiga ton laku terjual. Namun selama beberapa hari terakhir ini, satu ton saja sulit.
“Kami tidak mengerti mengapa transaksi komoditas unggulan sangat ‘lesu’ dan keadaan ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Paling-paling di saat persediaannya melimpah harganya menurun. Itupun bersifat sementara,” katanya.

Harga kopi robusta kini bervariasi antara Rp 22.000 sampai Rp 25.000/kg, sedangkan kopi arabika yang dihasilkan petani dari dataran tinggi “Tanah Gayo” yang mencakup Aceh Tengah dan Bener Meriah bertahan pada level Rp 28.000/kg, namun tidak beredar di Aceh karena semuanya mengisi pasaran ekspor.

“Yang jelas, dampak kenaikan harga BBM tidak berpengaruh terhadap harga hasil bumi di Aceh,” katanya.Berbeda pada masa krisis ekonomi lalu, harga hasil bumi naik tajam, seperti harga cengkeh, kopi dan pala serta minyak atsiri nilam dari sebelumnya Rp 300.000 meroket hingga mencapai Rp1,5 juta perkilogram.

Khusus kopi robusta, kata Ayah Ramli, sisa stok hasil panen lalu kini banyak dijual kepada pengusaha penggilingan bubuk kopi karena para pedagang pengumpul kesulitan memasarkannya selama dua pekan terakhir ini akibat menurunnya permintaan dari pedagang di Propinsi Sumatera Utara (Sumut).

Sebelumnya, Direktur PD Genap Mupakat, salah sebuah perusahaan yang menampung kopi rakyat di sentra produksi Aceh Tengah, H Taufiq MS, menyebutkan produksi kopi di daerah dataran tinggi Tanah Gayo kini berkurang karena di luar musim panen.

Luas areal tanaman kopi rakyat di “Tanah Gayo” (Aceh Tengah dan Bener Meriah) mencapai 70.000 hektare, sekitar 90 persen di antaranya merupakan kopi arabika, sedangkan sisanya merupakan kopi robusta dengan total produksi rata-rata antara 800 kilogram/hektar/tahun.

“Sebenarnya, kalau dikelola secara lebih baik, produksi kopi rakyat di kedua daerah itu masih bisa ditingkatkan antara satu ton sampai 1,2 ton per hektar,” demikian H Taufiq MS. (Medan Bisnis)

1 comment:

Anonymous said...

Nama Kopi Gayo telahpun ditrademark oleh orang Belanda. Jadi tidak bisa dieksport kopi ini dengan nama Gayo tanap ada sekatan undang-undang nanti.