Wednesday, April 04, 2012

Cara Nini Menginternasionalkan Kopi Gayo

Oleh: IHAN NURDIN

Bagi anda yang suka plesiran, barangkali pernah meneguk nikmatnya kopi di Hoka-hoka Bento di Merdeka Walk, Medan, atau harumnya kopi di Corner Coffee Jakarta. Bagi anda yang pernah mencicipinya barangkali akan terus terkenang akan kelezatan dan keharuman kopi bercitarasa tinggi itu. Tetapi, tahukah anda dari mana kopi nikmat itu berasal?

Adalah Nini, pengusaha kopi dari Bener Meriah yang telah mensuplai kopi-kopi berkualitas tinggi tersebut ke berbagai tempat di tanah air. Hampir di setiap pulau di Indonesia ia memiliki relasi bisnis yang membantunya memasarkan kopi Arabika produksinya.

Tak hanya Hoka-hoka Bento dan Corner Coffee, Nini juga menjadi supplier kopi untuk Hotel Garuda Plaza Medan. Bahkan kopi gayo hasil produksi home industri Nini pernah masuk Hotel Aston, Medan. Di Banda Aceh, bubuk kopi produksi Nini bisa dinikmati di CafĂ© Ring Road. “Saat ini juga sedang dalam proses negosiasi dengan pihak Plaza Indonesia,” kata Nini kepada The Atjeh Post, di Hermes Palace Banda Aceh, Rabu 14 Maret 2012.

Mengenakan baju batik warna hijau, dipadu dengan celana kain warna coklat muda, Nini tampak begitu segar. Rambutnya sepanjang bahu ia biarkan tergerai, kaca mata berbingkai hitam bertengger menutupi matanya yang sipit, khas ras mongoloid.

Nini satu-satunya peserta Aceh Cocoa and Coffee Conference (ACCC) untuk kategori pengusaha kopi dari Bener Meriah. Kepada The Atjeh Post ia mengatakan, selama ini kopinya tak hanya beredar di nusantara, tapi juga juga telah menembus pasar internasional. Umumnya masih di kawasan Asia seperti Malaysia, Taiwan, Korea, Cina dan Jepang. “Mereka pesan sendiri kepada saya setelah mereka coba di restauran atau pun hotel yang mereka datangi ketika berkunjung ke Indonesia,” katanya.

Untuk bisa menembus pasar tnternasional, tentu bukan hal yang mudah bagi Nini. Selama ini ia melakukan promosi dan lobby sendiri tanpa pernah dibantu oleh pemerintah kabupaten melalui dinas terkait. Karenanya, Konferensi yang menurutnya sangat penting ini tidak bisa dipastikan apakah ada hasilnya dan manfaat langsung yang bisa dirasakan oleh pengusaha.

“Kalau soal kualitas, produksi kopi kita sudah bagus, tetapi perhatian dari pemerintah yang sangat kurang. Yang punya potensi besar untuk mempromosikan usahanya ke luar, justru mendapat kendala yang besar dari pemerintah, jangankan yang rumit seperti ijin ekspor tetapi yang sepele seperti mendapatkan ijin BP POM saja sangat sulit,” cerita Nini.

Selama dua tahun terakhir, Nini sudah melakukan tiga kali pengajuan ke BP POM propinsi, tetapi sampai hari ini belum ada hasilnya sama sekali. Bahkan, menurut Nini persyaratan yang diajukan terkesan sangat sepele. Yaitu tidak memperbolehkan bangunan pabrik mempunyai sudut-sudut dengan dalih berdampak pada kebersihan pabrik.

Padahal sebagaimana diungkapkan Nini kalau untuk kebersihan pabrik, bisa dipastikan pabriknya sangat bersih dibandingkan pabrik-pabrik home industri lainnya. Bahkan Nini berkeinginan untuk mengunjungi pabrik teh botol Sosro di Jakarta. Tujuannya, ia ingin memastikan apakah standar yang ditetapkan pemerintah pada pabrik-pabrik kecil sudah diterapkan pada pabrik besar atau belum.

Menurutnya jika usaha home industri diberlakukan persyaratan yang rumit oleh Pemerintah, ujung-ujungnya bisa mematikan usaha itu sendiri.

Akibat dari tersendatnya ijin yang dikeluarkan oleh BP POM, Nini juga terkendala untuk mendapatkan label halal dari MUI. Karena ijin MUI mengacu pada hasil laboratorium yang dikeluarkan oleh BP POM.

Meski terkesan dipersulit Nini tak pernah patah semangat. Ia selalu optimis karena memiliki obsesi lain dibalik usahanya dalam memasarkan kopi Gayo. Selama ini, menurut Nini, kopi Gayo telah kehilangan identitas. Baru beberapa tahun terakhir ini kembali booming di pasaran. Ia merasa memiliki kewajiban mengembalikan identitas tersebut.

Penyebabnya, kopi yang dihasilkan di dataran tinggi di Gayo dijual sebagai bahan baku mentah ke daerah lain. Sehingga begitu kopi Gayo siap dipasarkan sebagai barang jadi maka yang muncul adalah label daerah lain.

“Seperti kopi Gayo yang kemudian berubah menjadi kopi Sidikalang, padahal bahan bakunya kopi Gayo tetapi karena diproduksi di Sumatera Utara, jadilah dia kopi Sidikalang,”

Kenyataan inilah yang membuat Nini begitu bersemangat mengembalikan citra kopi Gayo yang diproduksinya. Ia pun telah mematenkan kopinya dengan merk dagang Optimum Prime ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementrian Hukum dan Ham Pusat.

Diakui Nini ia mengalami kesulitan dalam mengurus proses pematenan produknya. Karena minimnya informasi yang ia dapatkan, di sinilah menurutnya pemerintah berperan besar dalam merangkul pengusaha-pengusaha skala kecil yang ingin memasarkan produknya.

Tak hanya soal hak paten, Premium Prime yang diproduksi oleh CV Mutiara Gayo milik Nini juga menggunakan kemasan yang berstandar internasional yang diimpor langsung dari Taiwan. Begitu juga dengan mesin, juga impor dari Taiwan. Ia juga mengusahakan ada SNI untuk produksi kopinya, meski tidak ada keharusan mengenai hal itu.

Dengan kehadirannya di konferensi tersebut Nini seolah ingin mengatakan, bahwa ia juga mempunyai cara sendiri dalam menginternasionalkan kopi Gayo.[]

Sumber: http://atjehpost.com

No comments: