Monday, January 19, 2009

KOPI: KOMODITAS UNGGULAN DARI MASA KOLONIAL DI DATARAN TINGGI GAYO KABUPATEN ACEH TENGAH ( DAN BENER MERIAH)

Deni Sutrisna

Balai Arkeologi Medan

Kata kunci:
kopi, Gayo, tanam paksa

I. Pendahuluan

Kopi yang saat ini sudah dikenal luas sebagai minuman dengan cita rasa khas dan dipercaya mempunyai manfaat besar bagi peminumnya, telah dikenal sejak abad-abad sebelum Masehi. Menurut sumber tertulis kopi berasal dari daerah jazirah Arab. Keterkaitan dunia Arab dengan kopi juga dibuktikan dengan adanya kenyataan bahwa istilah “kopi” berasal dari bahasa Arab, quahweh. Dari dunia Arab, istilah tadi diadopsi oleh negara-negara lainnya melalui perubahan lafal menjadi cafe (Perancis), caffe (Italia), kaffe (Jerman), koffie (Belanda), coffee (Inggris), dan coffea (Latin). Namun diantara pakar masih belum ada persesuaian pendapat tentang daerah asal kopi. Berbagai daerah telah diindentifikasikan sebagai daerah dan habitat asal tanaman kopi oleh pakar dari berbagai keahlian.

Linnaeus seorang botanikus dalam sebuah tulisannya yang terbit tahun 1753 berpendapat bahwa habitat kopi terletak diantara daerah subur Saudi Arabia yang disebut Arabia Felix, yang kemudian dikenal dengan nama Mekkah. Karenanya dia memberi nama tanaman tadi Coffea arabica. Akan tetapi di dalam tulisannya kemudian di tahun 1763 dia menyebutkan daerah asal kopi sebagai “Arabia” dan “Ethiopia”, meskipun dia lebih memberi titik tekan pada Arabia, dan hanya menyebutkan Ethiopia dalam kaitannya dengan Arabia.

Pendapat lain dari Lankester (1832) mengatakan bahwa Coffea arabica dibawa dari Persia ke Saudi Arabia. Sedangkan kajian historis yang dilakukan oleh Southard (1918 membawa pada kesimpulan bahwa pada abad XI bangsa Arablah yang membawa biji-bijian kopi dari suatu daerah di Ethiopia yang disebut Harar. De Condolle, sebagaimana dilaporkan oleh Fauchere (1927) berpendapat bahwa kopi merupakan tanaman liar yang tumbuh di Abyssiria, Ethiopia, Sudan, Mozambique dan Guinea.

Berdasarkan berbagai pendapat di atas, nampaknya sebagian besar para ahli mengidentifikasikan Ethiopia sebagai daerah asal Coffea arabica. Jenis kopi yang kemudian diketemukan di pegunungan Ruwenzeri (Uganda), sekitar 450-600 km di selatan habitat asal Coffea arabica, ternyata dari spesies yang meskipun dekat, akan tetapi berbeda.

Adapun penyebaran tumbuhan kopi ke Indonesia dibawa seorang berkebangsaan Belanda pada abad ke-17 yang mendapatkan biji Arabika mocca dari Arabia ke Batavia (Jakarta). Kopi arabika itu pertama-tama ditanam dan dikembangkan di sebuah tempat bagian timur Jatinegara, Jakarta yang menggunakan tanah partikelir Kesawung yang kini lebih dikenal Pondok Kopi. Penyebaran selanjutnya dari tanaman kopi tersebut sampai juga ke kawasan dataran tinggi Gayo, Kabupaten Aceh Tengah. Dari masa kolonial Belanda hingga sekarang Kopi Gayo khususnya telah menjadi mata pencaharian pokok mayoritas masyarakat Gayo bahkan telah menjadi satu-satunya sentra tanaman kopi kualitas ekspor di daerah Aceh Tengah. Selain itu bukti arkeologis berupa sisa pabrik pengeringan kopi masa kolonial Belanda di Desa Wih Porak, Kecamatan Silih Nara, Aceh Tengah telah memberikan kejelasan bahwa kopi di masa lalu pernah menjadi komoditas penting perekonomian di sana. Untuk lebih jelas mengenai sejarah dan sisa pabrik pengeringan kopi di Tanah Gayo itu, berikut uraiannya.

II. Kopi Indonesia pada masa kolonial

Tanaman kopi (Coffea spp) adalah spesies tanaman berbentuk pohon yang termasuk dalam famili rubiaceae dan genus coffea. Tanaman ini tumbuhnya tegak, bercabang dan bila dibiarkan tumbuh dapat mencapai tinggi 12 m. Daunnya bulat telur dengan ujung agak meruncing, daun tumbuh berhadapan dengan batang, cabang dan ranting-ranting. Tanaman kopi umumnya akan mulai berbunga setelah berumur sekitar 2 tahun. Salah satu jenis kopi yaitu kopi arabika termasuk varietas unggul yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  • Ditanam di daerah dengan ketinggian antara 700-1700 dpl dan suhu 16º-20º C.
  • Di tanam di daerah yang iklimnya kering selama 3 bulan/tahun secara berturut-turut yang sesekali mendapat hujan kiriman.
  • Umumnya peka terhadap serangan penyakit HV (cendawan Hemileia vastatrix), terutama bila ditanam di dataran rendah atau ketinggian kurang dari 500 dpl.
  • Rata-rata produksi sedang, harga dan kualitas relatif lebih tinggi dari kopi lainnya.
  • Umumnya berbuah sekali dalam setahun.

Komoditas kopi ini telah memainkan peranan penting dalam sejarah perekonomian Indonesia semenjak periode awal penetrasi kapitalisme internasional ke dalam masyarakat pra-kapitalis Indonesia. Semenjak diperkenalkannya kopi jenis Arabika oleh kaum kapitalis Belanda ke tanah Jawa (Batavia), tanaman kopi ini mengalami perkembangan yang amat pesat. Jenis kopi tersebut kemudian menyebar ke berbagai daerah di Jawa Barat, seperti Bogor, Sukabumi, Banten, dan Priangan melalui sistem tanam paksa (cultur stelsel) yang diperkenalkan Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1830. Melalui sistem tanam paksa ini rakyat diwajibkan untuk menanam komoditi ekspor milik pemerintah, termasuk kopi pada seperlima luas tanah yang digarap, atau bekerja selama 66 hari di perkebunan-perkebunan milik pemerintah. Dari sistem tanam paksa ini telah menghasilkan komoditi kopi yang cukup meyakinkan. Di antara tahun 1830-1834 produksi kopi arabika di Jawa mencapai 26.600 ton, selang 30 tahun kemudian produksi kopi tadi meningkat menjadi 79.600 ton (Creutzberg, 1975 dalam Retnandari & Moeljarto,1991:15).

Berkembangnya tanaman kopi ini di Jawa khususnya dan daerah-daerah lain pada umumnya karena didukung oleh kondisi tanah yang subur dan iklim yang cocok serta tersedianya tenaga kerja yang cukup, apalagi dengan diterapkannya sistem tanam paksa. Dengan dipegangnya monopoli perdagangan kopi di tangan Pemerintah Kolonial Belanda, telah memungkinkan eksploitasi dan pentransferan nilai lebih (surplus values) yang cukup besar ke Negeri Belanda, yang ikut menopang pertumbuhan ekonominya secara tajam. Dalam pada itu diundangkannya Agrarische Wet (UU Agraria) pada tahun 1870 yang memberi peluang bagi kaum kapitalis untuk menyewa tanah dalam jangka panjang telah mendorong tumbuhnya sejumlah koffie onderneming terutama sekali di Jawa Timur. Penanaman kopi telah memberikan kepada pemerintah kolonial penghasilan yang besar, sebelum penanaman oleh negara lainnya melebihi kopi sesudah tahun 1870-an (Bachri, 2005:125).

Berkembang pesatnya tanaman kopi sangat menguntungkan sehingga pada akhirnya penanaman kopi meluas, diantaranya hampir ke seluruh karesidenan Jawa. Kesemuanya telah membawa produksi kopi ke titik puncaknya di abad ke XIX yang pada tahun 1880-1884 mencapai 94.400 ton (Creutzberg,1975 dalam Retnandari & Moeljarto,1991:15). Kopi memainkan peranan yang jauh lebih penting dibandingkan dengan gula tebu. Kalau nilai ekspor kopi rata-rata antara tahun 1865-1870 mencapai 25.965.000 gulden, maka dalam periode yang sama nilai ekspor rata-rata gula tebu hanyalah mencapai 8.416.000 gulden (Handelsstatistiek Java 1823-75, Tabel 10-11, p.39-41).

Namun berjangkitnya penyakit tanaman kopi, pes dan teknik budi daya tanaman kopi yang tidak memadai, telah membawa penurunan produksi kopi secara drastis, yang diantara tahun 1910-1914 mencapai titik terendahnya sebesar 35.400 ton. Peristiwa tragis tadi justru membuka frontiers baru dalam budi daya tanaman kopi dalam wujud diperkenalkannya varietas kopi Robusta yang lebih tahan penyakit dan mempunyai produktivitas yang lebih tinggi. Varietas kopi Robusta ini segera menyebar ke daerah lain, khususnya Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung dan Aceh/NAD. Varietas kopi Arabika yang lebih sulit pembudidayaannya tinggal menempati lahan-lahan pertanian sempit pada ketinggian antara 900 – 1.000 meter di atas permukaan air laut, dan merupakan enclave di daerah Aceh (Takengon), Sumatera Utara (Sidikalang, Lintongnihuta, dan Mandailing), Jawa Timur (Besuki), dan Sulawesi Selatan (Toraja). Produksi puncak tanaman kopi dalam era sebelum Perang Dunia II terjadi di antara tahun 1935-1940 dengan produksi sebesar 124.600 ton. Pertumbuhan kopi varietas Robusta ini segera melampaui jenis Arabika sehingga pada saat ini mewujudkan 90 persen dari produksi yang ada.

Masa-masa Perang Dunia II ketika Indonesia diduduki Jepang dan masa pasca Perang Dunia II pada saat Revolusi Kemerdekaan merupakan masa-masa suram bagi produksi kopi. Banyak koffie onderrneming yang hancur sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari peperangan tadi serta adanya kecenderungan petani beralih ke tanaman produksi untuk subsistensi telah mengakibatkan turunnya produksi kopi secara drastis yang pada tahun 1950-an hanya mencapai 12-13% dari puncak produksi sebelum perang. Hal ini mengakibatkan hilangnya pasaran kopi Indonesia di pasaran internasional. Apa yang dikemukakan di atas tidak dapat dilepaskan dari moralitas petani, yang menekankan pada ekonomi survival dan wawasan mendahulukan keselamatan (safety-first philosophy). Kalau menurunnya harga kopi di pasaran internasional cenderung mendapatkan reaksi dari perkebunan kopi berupa menurunkan jumlah kopi yang dipetik dan mengurangi lahan usaha, maka reaksi petani kopi terhadap penurunan harga kopi tadi justru berwujud meningkatkan jumlah kopi yang dipetik untuk dapat mempertahankan derajat kehidupan subsistensi atau survival tadi.

III. Kopi Gayo dalam kajian sejarah dan sisa kepurbakalaannya

Kehadiran kekuasaan Belanda di Tanah Gayo tahun 1904 serta merta diikuti pula dengan hadirnya pendatang-pendatang yang menetap di sini. Pada masa itu wilayah Aceh Tengah dijadikan onder afdeeling Nordkus Atjeh dengan Sigli sebagai ibukotanya. Di sisi lain kehadiran Belanda juga telah memberi penghidupan baru dengan membuka lahan perkebunan, salah satunya kebun kopi di Tanah Gayo (di ketinggian 1.000 - 1.700 m di atas permukaan laut). Kondisi ini berbeda dengan lokasi tanam di Sumatera Timur, kopi ditanam di areal bekas tanaman tembakau Deli yang kurang baik (Sinar, tt:316). Tanaman Tembakau Deli dikatakan kurang baik karena masa depan tembakau Deli waktu itu masih belum pasti.

Sebelum kopi hadir di dataran tinggi Gayo tanaman teh dan lada telah lebih dulu diperkenalkan di sana. Menurut ahli pertanian Belanda JH Heyl dalam bukunya berjudul “Pepercultuur in Atjeh” menerangkan asalnya tanaman lada dibawa dari Mandagaskar (Afrika Timur) dalam abad VII atau VIII ke tanah Aceh (Zainuddin, 1961:264). Sayangnya kedua tanaman itu kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah kolonial. Pada akhirnya Belanda kemudian memperkenalkan dan membuka perkebunan kopi pertama seluas 100 ha pada tahun 1918 di kawasan Belang Gele, yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Bebesen, Aceh Tengah. Selain dibukanya lahan perkebunan, di tahun 1920 muncul kampung baru masyarakat Gayo di sekitar perkebunan kopi Belanda itu, dan pada tahun 1925-1930 mereka membuka sejarah baru dengan membuka kebun-kebun kopi rakyat. Pembukaan itu didasari oleh pengetahuan yang diperoleh petani karena bertetangga dengan perkebunan Belanda itu. Pada akhir tahun 1930 empat buah kampung telah berdiri di sekitar kebun Belanda di Belang Gele itu, yaitu Kampung Belang Gele, Atu Gajah, Paya Sawi, dan Pantan Peseng (Melalatoa, 2003:51).

Salah satu bukti kepurbakalaan yang berkaitan dengan komoditas kopi ini adalah temuan berupa sisa pabrik pengeringan kopi (biji kopi) di dekat Mesjid Baitul Makmur, Desa Wih Porak, Kecamatan Silih Nara, Kabupaten Bener Meriah (dulu Aceh Tengah), Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Susilowati,2007). Secara astronomis terletak pada 040 36.640′ LU dan 0960 45.660′ BT (47 N 0251594 UTM 0510018). Bekas pabrik pengeringan kopi tersebut menempati lahan berukuran 110 m x 60 m, sebagian kini telah menjadi lahan Pesantren Terpadu Darul Uini. Pada lahan tersebut terdapat sisa bangunan berupa sisa pondasi, sisa tembok bangunan, bekas tempat kincir air, dan beberapa kolam tempat proses pengeringan kopi.

Tempat kincir air ditandai dengan 3 buah tembok berketebalan 15 cm, tinggi sekitar 2 m dan di bagian permukaan atasnya dijumpai masing-masing 2 buah baut besi yang diperkirakan sebagai tempat bertumpunya kincir angin. Di dekat bekas tempat kincir air tersebut dijumpai dua buah kolam tempat pemrosesan kopi, salah satunya berukuran panjang sekitar 2,65 m, lebar, 2,33 m dan tinggi sekitar 1,25 m. Pada bagian selatan terdapat saluran air yang menuju ke kolam di bagian selatan. Selain itu juga terdapat bekas tembok kolam pengering gabah kopi di bagian paling selatan setelah tembok saluran air. Pada bekas tembok kolam tersebut masih terdapat lubang saluran air di bagian utara.

Setelah masa kemerdekaan pabrik tersebut pernah terlantar, selanjutnya sekitar tahun 1960-an hingga tahun 1979 pabrik tersebut pernah dikelola oleh PNP I, kemudian kepemilikannya berpindah ke PT Ala Silo dan terakhir lahannya kini dimiliki oleh Dinas Perkebunan Pemerintah Daerah Kab. Aceh Tengah.

Sekitar 40 m arah baratdaya dari lokasi pabrik berada, dijumpai rumah-rumah lama peninggalan masa kolonial, dan sekitar 85 m arah barat laut pabrik terdapat bekas bangunan rumah pejabat Belanda yang kondisinya kini sudah rata dengan tanah. Di bagian dalam bekas rumah tersebut terdapat bunker. Menurut informasi dahulu pernah digunakan untuk tempat persembunyian Mr. Syafrudin Prawiranegara (Pimpinan Sementara Pemerintah Darurat RI ketika terjadi Agresi Militer Belanda II). Rumah tersebut dibongkar pada tahun 1966 dan dijadikan sebagai rumah pekerja PNP I. Objek lainnya sekitar 1,2 km arah timurlaut pabrik, masuk dalam wilayah Desa Wih Pesam terdapat kolam pemandian air panas yang sudah ada sejak masa kolonial Belanda.

Pada paruh kedua tahun 1950-an setelah lepas dari gangguan keamanan akibat pergolakan DI/TII yang menyebabkan keadaan ekonomi rakyat morat-marit, orang Gayo mulai berkebun kopi. Pada periode itu hutan-hutan dibabat untuk dijadikan kebun kopi. Pada tahun 1972 Kabupaten Aceh Tengah tercatat sebagai penghasil kopi terbesar dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Luas areal kebun kopi di Kabupaten Aceh Tengah pada tahun 1972 adalah 19.962 ha.

Berikut tabel luas areal perkebunan kopi rakyat di sana tahun 1970-1975 per kecamatan:

No

Kecamatan

1970

(ha)

1971

(ha)

1972

(ha)

1973

(ha)

1974

(ha)

1975

(ha)

1

Kota Takengon

125

129

133

137

145

650

2

Bebesan

4.500

4.635

4.774

4.918

5.066

5.218

3

Bukit

4.000

4.120

4.244

4.372

4.503

4.638

4

Bandar

4.750

4.893

5.040

5.191

5.347

5.507

5

Silih Nara

3.500

3.605

3.713

3.825

3.940

4.058

6

Timang Gajah

1.500

1.595

2.058

2.610

2.688

2.768

7

Linge

-

-

-

-

-

-

Total

18.375

18.977

19.962

21.053

21.689

22.839

(Sumber: Nasir,1976:3 dalam Melalatoa,2003:51)

Perkebunan kopi bagi warga Kabupaten Bener Meriah (pemekaran dari Kab. Aceh Tengah) dan Kabupaten Aceh Tengah merupakan urat nadi perekonomian yang paling menonjol, selain perdagangan sayur mayur seperti kol/kubis, wortel, cabai, dan cokelat. Sebagai komoditas ekspor, 27.953 keluarga di Aceh Tengah menggantungkan hidup mereka pada budi daya kopi dengan luas areal 46.392 ha, dan dengan rata-rata 720,7 kg/ha/tahun (BPS Kab. Aceh Tengah 2005:144-145). Konflik yang berkepanjangan menyebabkan sedikitnya 6.440 ha lahan kopi telantar dan 5.037 keluarga kehilangan lapangan kerja.

Setelah konflik mereda dan ditandatanganinya perjanjian damai RI-GAM pada akhir tahun 2005, para petani kopi kini mulai berani bercocok tanam di kebun kopi yang terletak jauh di lereng gunung, tidak sekedar menanam kopi di pekarangan rumah. Harga jual kopi pun -meski dipengaruhi harga kopi dunia- relatif stabil dan terus menguat karena jalur perdagangan antara Takengon-Bireun-Lhoksemauwe-Medan dapat dilalui kendaraan angkut tanpa resiko besar.

IV. Penutup

Komoditas kopi merupakan sokoguru perkebunan di daerah Tanah Gayo, Kabupaten Aceh Tengah sejak masa kolonial Belanda. Kopi bukan sekedar dikonsumsi di lokal Aceh, tetapi kini sudah menjadi komoditas ekspor. Sejak dibukanya perkebunan kopi, di tanah Gayo muncul beberapa perkampungan baru. Munculnya perkampungan-perkampungan baru tersebut merupakan salah satu upaya Pemerintah Kolonial Belanda untuk menjadikan tanah gayo sebagai lumbung kopi karena kualitas jenis kopi (kopi arabika) yang ditanam memiliki harga yang cukup tinggi di pasaran internasional. Dalam beberapa dekade berikutnya produksi kopi mengalami pasang surut, puncaknya adalah ketika terjadi konflik bersenjata antara Pemerintah RI dan GAM. Banyak perkebunan kopi terbengkalai bahkan ditinggalkan, hingga kemudian tercapai nota kesepahaman bersama pada akhir tahun 2005, aktivitas perkebunan kopi mulai bangkit kembali dan kini telah menjadi tulang punggung perekonomian di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.

Kepustakaan

Bachri, Saiful, 2005. Sejarah Perekonomian. Surakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan UNS dan UNS Press

BPS Aceh Tengah, 2005. Aceh Tengah Dalam Angka 2005. Takengon: BPS Kab. Aceh Tengah dan Bappeda Kab. Aceh Tengah

Hurgronje, C. Snouck, 1996. Gayo, Masyarakat dan Kebudayaannya Awal Abad ke-20, terjemahan oleh Hatta Hasan Aman Asnah. Jakarta: Balai Pustaka

Kartodirdjo, Sartono, 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium Sampai Imperium Jilid I. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Marsden, William, 1999. Sejarah Sumatra, terjemahan oleh A.S Nasution dan Mahyuddin Mendim. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Melalatoa, M.Junus, 2003. Gayo, Etnografi Budaya Malu. Jakarta: Yayasan Budaya Tradisional dan Kantor kementerian dan Pariwisata RI

Nasir, 1977. Pola Perdagangan Kopi Rakyat: Kasus Studi di Desa Ratawali dan Bukit Menjangan Kabupaten Aceh Tengah. Banda Aceh: Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Aceh.

Retnandari dan Moeljarto Tjokrowinoto,1991. Kopi, Kajian Sosial-Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media

Sinar, Tengku Luckman, tt. Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur. Medan: tp

Susilowati, Nenggih, 2007. LPA, Penelitian Arkeologi di Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Medan: Balai Arkeologi Medan (belum diterbitkan).

Zainuddin, H.M, 1961. Tarich Atjeh dan Nusantara, Jilid I. Medan: Pustaka Iskandar Muda

Sumber: Balai Arkeologi Medan.

2 comments:

Anonymous said...

thin but sweet

sada said...

Masyarakat gayo butuh peran aktif penyuluh perkebunan kopi, harus ada langkah aktif guna mempertahankan mutu kopi gayo