Thursday, February 14, 2008

Pengembangan Indikasi Geografis (Bagian 2)

INDIKASI GEOGRAFIS DI INDONESIA DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA

Indikasi Geografis menurut Undang Undang No 15 tahun 2001 tentang Merek

Dalam UU Merek perlindungan indikasi geografis tercantum pada pasal 56 sampai dengan 60 UU yang bersangkutan. Dalam ketentuan pasal 56, indikasi-geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Indikasi-geografis mendapat perlindungan setelah terdaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh :

1. lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi barang yang bersangkutan, yang terdiri atas:
a) pihak yang mengusahakan barang yang merupakan hasil alam atau kekayaan alam;
b) produsen barang hasil pertanian;
c) pembuat barang-barang kerajinan tangan atau hasil industri; atau
d) pedagang yang menjual barang tersebut;

2) lembaga yang diberi kewenangan untuk itu; atau
3) kelompok konsumen barang tersebut.

Ketentuan penting lain dalam Undang-Undang itu ialah :bahwa permohonan pendaftaran indikasi-geografis ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila tanda tersebut:
1) bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, ketertiban umum, atau dapat memperdayakan atau menyesatkan masyarakat mengenai sifat, ciri, kualitas, asal sumber,proses pembuatan, dan/atau kegunaannya;

2) tidak memenuhi syarat untuk didaftar sebagai indikasi-geografis.

Indikasi-geografis terdaftar mendapat perlindungan hukum yang berlangsung selama ciri dan/atau kualitas yang menjadi dasar bagi diberikannya perlindungan atas indikasi- geografis tersebut masih ada.

Pada saat ini Direktur Jendral Hak Kekayaan Intelektual sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah tentang Indikasi Geografis.

Komoditas Unggulan Indonesia yang dapat dilindungi dengan indikasi geografis.

Dari studi yang dilaksanakan komoditi Indonesia berdasarkan reputasinya dapat digolongkan menjadi dua, yang pertama adalah komoditas ekspor yang telah mendapatkan reputasi internasional dan yang kedua adalah komoditas dalam negeri yang telah mendapatkan reputasi nasional.
Komoditas ekspor dengan reputasi internasional antara lain adalah kopi, tembakau dan lada.

Untuk komoditas kopi antara lain dikenal reputasi kopi Mandailing atau Sumatra Mandheling dengan deskripsi sebagai berikut :

Originating from the second largest of the Indonesian Islands,here's another of the world's most highly regarded gourmet quality coffees – the Mandheling.
This gourmet coffee highlights a heavy body that is marked with excellent balance and acidity. Chocolately notes are prevalent in the finish.
Master roasted to a delightful medium-dark sheen creating a fullness of flavor perfect for an early morning jump-start, or as an extra special complement to a wonderful dessert.

The full-bodied richness and excellent acidity keep the Mandheling at the forefront as a popular choice of coffee connoisseurs around the world

Disamping itu tidak kalah terkenalnya pula kopi Toraja yang merupakan kegemaran orang Jepang.

Kopi Toraja secara keseluruhan atau secara khusus dari daerah Kalosi merupakan kopi bermutu tinggi yang menduduki pasaran utama di Jepang. Sedemikian terkenalnya nama Toraja sehingga nama itu juga dijadikan nama produk makanan yang tidak berhubungan dengan daerah Toraja misalnya untuk Takoyaki (snack) yang dibuat dari hewan laut (seafood). Kondisi ini tentunya mengkhawatirkan karena dapat membuat nama Toraja menjadi nama generik dan tidak bisa digunakan lagi untuk indikasi geografis.

Kopi lain yang cukup dikenal adalah Java Coffee, kopi ini sangat disukai di Eropa terutama di kalangan anak muda yang suka bergadang, sehingga salah seorang pencipta perangkat lunak memakai nama Java sebagai nama program perangkat lunak komputer.

Lada Muntok dari Bangka juga sangat digemari oleh masyarakat di Eropa sebagai lada meja, table pepper karena rasanya yang lunak dan bau yang tidak menyengat. Namun demikian karena pasokan yang kurang memadai maka banyak yang memakai merek Lada Muntok dengan isi yang bukan dari Muntok, bahkan bukan dari Indonesia.

Untuk komoditas tembakau, sampai saat ini salah satu pembungkus cerutu terbaik berasal dari Deli. Sedang tembakau Besuki Na Oogst maupun tembakau Jember juga cukup merajai pasaran dunia.

Di sini terlihat bahwa beberapa komoditas Indonesia sudah mendapatkan reputasi yang harus dijaga. Pengembangan indikasi geografis akan meningkatkan serta menjaga nilai tambah komoditas-komoditas tersebut.

PROFIL KOMODITAS CONTOH

Penjelasan profil komoditas di bawah ini merupakan bagian dari dokumentasi yang dapat membantu lembaga-lembaga di wilayah Indonesia yang akan mewakili perlindungan komoditas. Hal tersebut penting sebagai kaitannya dengan indikasi geografis dan traditional knowledge yang berkaitan dengan warisan budaya. Indikasi geografis memang suatu yang baru dimana Indonesia memasukkan dalam UU Merk.

Salah satu lingkup produk Indonesia yang telah lama berkembang dan memiliki kualifikasi indikasi geografis adalah dalam sub sektor perkebunan. Tiga komoditas yang cukup penting adalah kopi, tembakau dan lada. Dari nilai ekspor nasional tahun 2002 sebesar 57 158.8 juta US$, ketiga komoditas tersebut masing-masing mencapai 218.8 juta US$ (0.38 %) untuk kopi, 66.45 juta US$ (0.12%) untuk tembakau dan 88.14 juta US$ (0.15 %) untuk lada.

Komoditas dan Perdagangan Kopi

Indonesia merupakan salah satu negara net exporter kopi. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah yang menonjol di bidang perdagangan lebih berkaitan dengan ekspor kopi. Namun kopi juga diimpor oleh pabrik pengolahan kopi di Indonesia sebagai bahan pencampur (blending) agar diperoleh aroma dan rasa yang lebih baik. Jenis kopi yang masih diimpor karena kurang mencukupi adalah kopi Arabika. Produksi utama adalah Robusta yang aroma dan rasanya tidak seperti kopi Arabika. Kebijakan perdagangan yang pernah ditempuh Indonesia adalah sebagai berikut.

Kebijakan Kuota Ekspor

Kesepakatan perdagangan internasional yang harus dipatuhi oleh Indonesia adalah kuota ekspor kopi, yaitu volume ekspor kopi yang dijatahkan kepada suatu negara dengan tujuan untuk menjaga agar harga kopi di pasar dunia dan domestik tidak jatuh. Pembatasan jumlah ekspor diadakan setelah terbentuknya International Coffee Organization (ICO) pada tahun 1960-an yang beranggotakan 44 negara yang terdiri dari 13 negara produsen dan 31 negara konsumen. Pembentukan ICO adalah sebagai respon terhadap menurunnya harga kopi di pasar dunia karena kelebihan penawaran.

Data USDA (1999) menunjukkan bahwa selama 1965-1968, rata-rata harga kopi Arabika di pasar New York turun dari 44,8 sen menjadi 37,30 sen dolar AS. Tetapi kemudian sejak tahun 1969 sampai 1977 harga terus meningkat hingga menjadi 307,66 sen dolar AS. Barangkali ini merupakan keberhasilan ICO dalam mengangkat harga kopi di pasar dunia. Setelah itu harga cenderung menurun lagi hingga mencapai 106,37 sen dolar AS pada tahun 1987. Munculnya frost di Brazil pada tahun 1988 sedikit mengangkat harga kopi menjadi 121,84 sen.

Namun kuota ekspor ternyata dihentikan pada tanggal 4 Juli 1989, walaupun pada saat itu harga kopi turun menjadi 98,76 sen. Ekspor dibebaskan ke negara mana saja tanpa melihat apakah anggota ICO atau bukan. Hapusnya kuota dan bebasnya tujuan pengiriman ekspor ternyata menyebabkan harga dunia terus menurun hingga titik yang rendah, yaitu 56,49 sen dolar AS pada tahun 1992.

Merosotnya harga kopi di pasar dunia tersebut menyebabkan negara-negara produsen kopi dunia pada tahun 1993 membentuk sebuah asosiasi baru bernama Association of Coffee Producing Countries (ACPC). Asosiasi ini beranggotakan 13 negara produsen kopi, dimana Indonesia merupakan astu-satunya negara di Asia yang menjadai anggota ACPC membuat suatu export programs, yaitu semacam kuota ekspor tetapi tidak diberi sangsi terhadap negara-negara yang melanggarnya. Program tersebut ternyata mampu mengangkat harga kopi (Arabica) di New York menjadi 143,24 sen dolar AS pada tahun 1994 dan kemudian menjadi 145,95 sen pad atahun 1995. Sesudah turun menjadi 119,77 sen pad atahun 1996, harga naik lagi menjadi 166,80 sen pad atahun 1997. Sesudah itu harga turun menjadi 121,81 sen pad atahun 1998 dan kemudian menjadi 92,50 sen pada tahun 1999.

Sebagai anggota ICO, Indonesia harus mematuhi kuota ekspor yang pernah ditetapkan ICO sampai dengan 1989 dan program ekspor ACPC sejak tahun 1993. Perkembangan kuota ekspor kopi Indonesia selama 1985/1986 sampai dengan 1989/1990. Selama kurun waktu tersebut, kuota terus menurun selama 1985/1986 -1987/1988 dna kemudian terus meningkat hingga 1989/1990. Pada akhir masa berlakunya kuota (1989/1990), kuota Indonesia mencapai 331,483 ton. Jumlah kuota ekspor bervariasi sekitar 15,9 – 81,3 persen dari total ekspor kopi Indonesia, sedangkan jumlah ekspor non-kuota berkisar 18,7 – 50,2 persen

Pada tahun 1996, negara-negara anggota ACPC diminta melakukan penahanan sebagian ekspor kopi (export retention) sebesar persentase tertentu terhadap total jatah ekspor kopi. Besarnya retwensi adalah 10 persen jika harga baik dan 20 persen jika harga kurang baik. Namun Indonesia menolak retensi itu karena akan meningkatkan beban biaya penyimpanan dan biaya-biaya terkait lainnya yang sangat besar.


Kebijaksanaan Tarif Impor


Tarif impor kopi yang dikenakan oleh pemerintah Indonesia terhadap impor kopi selama 1969-1998 mengalami perubahan. Selama 1969-1973, tarif impor adalah 50 persen, kemudian meningkat menjadi 70 persen selama 1974-1980. Sesudah itu, tarif diturunkan kagi menjadi 30 persen yang berlangsung cukup lama (14 tahun), yaitu selama 1981-1994. Selama dua tahun berikutnya (1995-1996), tarif diturunkan lagi menjadi 25 persen, laku turun lagi menjadi 20 persen pada tahun 1997 dan akhirnya menjadi 5 persen pada tahun 1998 sampai sekarang.

Volume dan Nilai Ekspor

Volume ekspor kopi Indonesia selama 1996-2001 berfluktuasi dengan kecenderungan menurun rata-rata 6,21% per tahun. Penurunan volume ekspor terbesar terjadi pad atahun 2001. Diperkirakan, ini disebabkan oleh dampak negatif dari peristiwa runtuhnya gedung WTC di Amerika Serikat yang merupakan pusat perdagangan dunia. Hal itu menyebabkan melesunya ekonomi dunia yang menyebabkan turunnya permintaan dunia terhadap komoditas kopi. Nilai ekspornya malahan menurun lebih cepat dibanding volume ekspornya, yaitu rata-rata 18,75% per tahun. Ini menunjukkan terjadinya harga kopi di pasar dunia.

Komposisi Ekspor Menurut Jenis Produk

Ekspor kopi Indonesia terdiri dari tiga produk utama, yaitu: (1) coffee not roasted not decaffeinated, robusta oib; (2) coffee not roasted not decaffeinated, arabica, wib; dan (3) other coffee not roasted not defaeinated. Tampak bahwa ekspor kopi Indonesia sangat didominasi oleh jenis robusta dan dalam bentuk kopi biji kering yang belum di oven (roasted) dengan pangsa rata-rata 90% selama 1996-2001. Dominasi produk ekspor demikian menyebabkan harga ekspor tetap rendah.

Salah satu permasalahan yang dihadapi adalah rendahnya mutu biji kopi hasil petani. Kebutuhan petani yang mendesak akan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari menyebabkan ada biji kopi yang dipanen petani sebelum masak (petik hijau). Peirlaku petani seperti ini juga disebabkan oleh perilaku pedagang atau eksportir yang tidak memberikan insentif kepada petani atas mutu biji kopi yang baik/tua (petik merah). Pedagang dan eksportir hanya memberikan harga rata-rata, tanpa membedakan mutu kopi, sehingga petani enggan melakukan grading.

Permasalahan lainnya adalah kopi yang diekspor Indonesia adalah jenis robusta yang hanya dijadikan bahan campuran (blending) oleh negara pengimpor. Sebagian besar kopi yang diperdagangkan di pasar dunia adalah kopi arabika, seperti yang dihasilkan oleh negara-negara Amerika Latin, seperti Brazil, Colombia, dan lain-lain. Dalam hal ini, kopi Indonesia kalah bersaing dengan kopi arabika asal negara-negara lain.

Komposisi Ekspor Menurut Negara Tujuan

Ada lima negara tujuan utama ekspor kopi Indonesia, yaitu AS, Jepang, Jerman Barat, Polandia dan Korea Selatan dengan pangsa masing-masing 20,71%, 14,79%, 14,30%, 7,81% dan 4,90% pada tahun 2001. Selebihnya sebanyak 37,5% tersebar di anyak negara Eropa, Timur Tengah dan Asia. AS dan Jepang secara tradisional merupakan pasar utama ekspor kopi Indonesia. Di masa datang, Indonesia perlu mengembangkan ekspor ke lebih banyak negara tujuan lainnya sebagai pasar baru.

Pesaing Indonesia

Dalam mengekspor kopi ke pasar dunia, Indonesia berhadapan dengan negara-negara eksportir lainnya.Negara-negara eksportir utama kopi adalah sama dengan negara-negara produsen utama, yaitu Brazil, Colombia, Vietnam dan Indonesia, dengan rata-rata pangsa ekspor masing-masing 22,14%, 12,5%, 8,6% dan 6,8%. Untuk Indonesia, pangsa ekspor hamapir sama dengan pangsa produksi. Untuk Colombia dan Vietnam, pangsa ekspornya lebih besar dibanding pangsa produksinya, sedangkan untuk Brazil, pangsa ekspornya lebih kecil dibanding pangsa produksinya.

(Bersambung Ke Bagian 3)

No comments: